Cikalpedia
Cerpen

Tak Ada yang Menjawab

Waktu hidup Andra sedang di atas, semua terasa dekat: tawa, undangan reuni, pesan-pesan singkat yang isinya cuma, “Bro, kopi yuk.” Tapi semua itu terasa seperti mimpi lama sekarang. Setelah bisnisnya bangkrut dan motornya dijual buat bayar utang, ponselnya jadi sunyi. Notifikasi cuma datang dari aplikasi pinjaman online dan tagihan listrik.

Ia mencoba menghubungi satu per satu teman lamanya. Bukan minta uang—Andra terlalu gengsi untuk itu—ia hanya ingin cerita, numpang dengar suara manusia yang masih peduli. Tapi pesan-pesannya cuma centang dua tanpa balasan. Ada yang jelas-jelas membaca, tapi tidak menjawab. Mungkin takut ditagih pinjaman. Mungkin malas mendengar keluh kesah. Mungkin memang begitulah dunia setelah tawa pergi.

Paling menyakitkan ketika Toni, sahabat semasa kuliah yang dulu pernah tinggal serumah dengannya, hanya menjawab dengan emoji jempol setelah Andra mengirim pesan panjang yang jujur: “Gue capek, Ton. Kayaknya gue gagal jadi manusia.” Emoji itu rasanya seperti tamparan dingin. Tidak ada, “Gue ke sana ya,” atau bahkan, “Sabar, Bro.” Hanya jempol.

Suatu malam hujan deras mengguyur kontrakan sempitnya yang bocor di dua sudut. Andra duduk sendirian, memandangi baskom-baskom penadah air. Tiba-tiba ia tertawa pelan, getir, seolah tubuhnya sudah kehabisan air mata. Dalam hati ia berkata, “Ternyata, Tuhan nggak pernah ambil semua. Dia cuma buang yang palsu.”

Besok paginya, ia bangun dengan kepala berat tapi hati yang sedikit lebih ringan. Ia menulis di kertas: “Yang pergi bukan kehilangan. Yang tinggal, itulah rumah.” Lalu mulai bekerja serabutan, mengantar sayur pakai pinjaman motor tetangga. Bukan akhir yang indah, tapi awal dari sesuatu yang nyata—akhirnya, Andra belajar hidup hanya dengan yang benar-benar mau tinggal.

Yang Datang Tak Selalu Baru

Pagi itu, Andra sedang mengantar dua kantong bayam ke warung kecil di pinggir pasar. Keringat membasahi punggung kausnya yang sudah mulai memudar warnanya. Saat ia menyerahkan belanjaan, pemilik warung, Bu Rumi, menatapnya lama.

“Mas Andra, kamu itu anaknya Pak Harto ya? Yang dulu punya toko alat listrik di perempatan?”

Andra mengangguk pelan, kaget tapi juga hangat—ada seseorang yang masih ingat. Bu Rumi hanya tersenyum samar dan menyodorkan sebungkus nasi kuning.

“Ini buat sarapan. Lain kali kalau ke sini lagi, bawa saja daftar sayurnya, biar kamu langganan.”

Sejak hari itu, Andra mulai dapat pelanggan tetap—bukan karena jasa pengiriman cepatnya, tapi karena ia mengantarkan dengan tulus. Ia tidak banyak bicara, tapi tatapan matanya mengandung sesuatu yang membuat orang merasa tidak sendiri.

Suatu sore, ketika Andra menepi di bawah pohon besar karena hujan mendadak turun, sebuah mobil putih berhenti di seberang jalan. Kaca diturunkan. Sosok laki-laki dengan jas mahal dan kacamata hitam melambaikan tangan. Andra menyipitkan mata. Toni.

“Bro, kamu masih inget gue?” tanya Toni, seolah baru kemarin mereka lulus kuliah.

Andra tersenyum, kecil dan tenang. “Masih. Tapi gue udah nggak inget versi lo yang dulu.”

Toni tertawa kikuk. “Dengar-dengar lo bangkit lagi. Gue cuma mau bilang… sorry ya. Gue… kabur.”

Andra menatap hujan yang masih menetes dari ujung daun. “Nggak semua orang harus tinggal. Tapi yang datang sekarang, datang karena tahu gue bukan siapa-siapa.”

Dan untuk pertama kalinya, Toni diam. Tak berani menjawab.

Percaya yang Tak Diminta

Suatu pagi yang biasa, Andra mengantar sekotak daun singkong ke sebuah kafe kecil yang baru buka di ujung kota. Kafe itu tampak berbeda dari tempat-tempat lain—dekorasi kayu sederhana, aroma kopi segar, dan musik akustik yang mengalun pelan.

Pemiliknya seorang perempuan muda bernama Laras, rambutnya digelung sembarangan, matanya teduh tapi tajam. Ia menyambut Andra dengan senyum sopan, lalu mengecek daftar pesanan yang ia tulis sendiri.

“Mas Andra ya?” tanyanya. “Kata Bu Rumi, Mas orangnya amanah.”

Andra hanya tersenyum, malu-malu. Ia tak tahu sejak kapan namanya tersebar seperti itu.

Hari berganti, dan Andra mulai rutin mengantar bahan-bahan ke kafe Laras. Kadang mereka sempat bicara sebentar, soal harga tomat yang naik, soal sepeda motor tua Andra yang suka mogok, soal hidup yang nggak selalu adil, tapi bisa tetap dijalani.

Suatu hari, Laras mengajak Andra duduk sebentar setelah pengantaran.

“Mas, aku lihat kamu telaten, rapi, dan… tahan banting. Aku lagi mikir buka cabang kecil di dekat pasar. Tapi aku butuh orang yang bisa jaga dapur dan urus bahan. Gimana kalau kita coba bareng?”

Andra nyaris tak percaya. Ini bukan belas kasihan. Bukan tawaran setengah hati. Laras menatapnya seperti orang yang benar-benar melihat kemampuannya, bukan masa lalunya.

“Aku nggak punya modal, Laras,” jawabnya pelan.

“Aku juga nggak punya banyak,” balas Laras, “tapi aku punya keyakinan. Dan kamu, kayaknya punya nyawa yang nggak gampang padam.”

Andra menunduk. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia ingin percaya lagi—bukan pada orang, tapi pada kemungkinan.

Ujian yang Datang Dua Kali

Dua bulan sejak kafe cabang kecil itu berdiri, Andra dan Laras nyaris tak pernah berhenti bergerak. Di pagi hari, Andra ke pasar mencari bahan segar. Siang hari, ia bantu di dapur. Malamnya, Laras sibuk mencatat pesanan dan membalas DM pelanggan di Instagram. Usaha mereka tumbuh pelan, tapi pasti.

Andra merasa hidupnya mulai punya bentuk. Bukan megah, tapi utuh. Bukan ramai, tapi jujur.

Suatu sore, saat hujan turun rintik-rintik—selalu ada hujan di tiap persimpangan hidup Andra—sebuah mobil putih parkir di depan kafe. Ia tahu mobil itu. Toni turun dengan gaya khasnya: necis, penuh percaya diri, dan senyum yang mengingatkan Andra pada masa lalu yang ingin ia kubur.

“Gue denger dari temen, lo udah jalanin usaha kecil-kecilan. Hebat lo, Bro,” kata Toni sambil menepuk pundaknya. Andra hanya mengangguk. Laras muncul dari dalam dan menyambut ramah, tak tahu siapa yang berdiri di depannya.

“Ini Toni, teman lama,” jelas Andra.

Setelah basa-basi panjang, Toni membuka maksud kedatangannya. “Gue ada proyek franchise kedai kopi nasional. Investor Korea masuk, butuh lokal partner yang paham lapangan. Gue bisa bawa lo masuk, Dra. Gede, cuannya bukan main. Tapi ya, harus fokus—tinggalin dulu lah usaha kecil kayak gini.”

Laras diam, matanya menatap Andra sejenak. Tak ada kata yang keluar, hanya tatapan: Apa kamu akan pergi juga?

Andra menatap Toni, lalu Laras. Lalu panci kecil di dapur yang penyok, lalu papan tulis menu yang ditulis pakai spidol murahan, lalu tangan Laras yang mulai gemetar.

“Dulu, waktu gue jatuh, lo nggak percaya gue bisa bangkit. Sekarang gue belum sampai mana-mana, lo datang bawa tawaran,” kata Andra pelan.

Toni tertawa kecil. “Namanya juga dunia bisnis, Bro. Timing.”

Andra mengangguk. “Iya. Dan sekarang, waktunya gue nolak.”

Toni terdiam. Laras masih tak bicara, tapi senyumnya pulih perlahan. Bukan karena Andra menolak tawaran besar, tapi karena Andra memilih tetap tinggal.

Yang Disimpan Tak Selalu Hilang

Sejak hari ia menolak tawaran Toni, Andra merasa jiwanya lebih tenang. Laras makin sering tersenyum, dan pelanggan mulai datang bukan cuma karena makanan enak—tapi karena suasana hangat di balik etalase kecil mereka.

Namun suatu malam, saat mereka beres-beres dapur bersama, Laras tiba-tiba berkata tanpa menatap Andra:

“Mas, kalau suatu hari nanti kamu tahu hal buruk tentang aku… kamu bakal tetap mau kerja bareng aku?”

Andra menoleh, bingung. “Maksudnya?”

Laras terdiam. Lalu berjalan ke meja kecil, membuka laci, dan mengeluarkan sebuah amplop. Ia menyodorkannya, gemetar.

Isinya adalah salinan berita lama: “Mantan Manager Keuangan Koperasi Dituntut Atas Kasus Salah Input Dana.” Nama Laras tercantum sebagai terdakwa—bukan pelaku utama, tapi ikut bertanggung jawab.

“Aku nggak maling. Aku cuma bodoh. Aku percaya orang yang salah. Aku dipecat, dimaki, dan… ditinggal sama semua orang,” suara Laras bergetar. “Aku nggak bilang dari awal karena… aku takut kamu juga bakal pergi.”

Related posts

Bandung Berduka, Acil Bimbo Pulang ke Rahmatullah

Cikal

Angin Segar untuk LPPL Kuningan

Alvaro

Polres Kuningan Gandeng Petani dan Perhutani Panen Jagung, Dorong Swasembada Pangan Daerah

Cikal

Leave a Comment