Cikalpedia.id – Selamat datang di Job Fair 2025, ajang tahunan paling ditunggu-tunggu oleh… para lembaga pelatihan dan penyalur tenaga kerja. Ya, benar sekali. Bukan pencari kerja. Bukan juga perusahaan yang sedang butuh pegawai. Tapi para penjaga gerbang menuju dunia kerja yang katanya penuh peluang.
Begitu masuk arena, kamu tidak akan disambut HRD perusahaan besar atau kepala bagian rekrutmen. Tidak, tidak. Kamu akan menemukan deretan LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) yang siap menyapamu dengan senyum hangat dan brosur bertuliskan:
“Ingin kerja di Jepang? Kursus dulu 18 bulan, biaya bisa dicicil kok!”
“Mau jadi Barista? Daftar kelas 3 bulan. Sertifikat internasional!”
“Kami bukan penyalur, kami mitra impian masa depan! Bayar dulu, kerja nanti.”
Sebentar, ini Job Fair atau Bazar Pelatihan dan Perantara?
Di tengah tantangan tingginya angka pengangguran dan persaingan kerja yang semakin ketat, job fair menjadi salah satu strategi yang diandalkan pemerintah daerah untuk mempertemukan pencari kerja dengan dunia usaha. Dalam praktiknya, job fair seharusnya menjadi ajang strategis yang mempercepat proses rekrutmen dan memperluas akses informasi lowongan kerja secara langsung.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan gejala yang berbeda. Di sejumlah kegiatan job fair, khususnya di daerah-daerah, wajah utama dari kegiatan ini justru diisi oleh lembaga pelatihan kerja (LPK) dan perusahaan penyalur tenaga kerja. Pencari kerja yang datang dengan harapan bisa bertemu langsung dengan perusahaan pemakai tenaga kerja, justru banyak yang pulang dengan setumpuk brosur kursus dan pelatihan.
Fenomena ini tentu patut dicermati lebih dalam. Bukan berarti keberadaan LPK dan penyalur tenaga kerja tidak penting. Mereka memang memiliki peran dalam ekosistem ketenagakerjaan. Namun ketika mereka mendominasi ruang job fair tanpa kehadiran yang seimbang dari perusahaan pengguna, maka orientasi kegiatan ini pun mulai bergeser.
Alih-alih menjadi ajang rekrutmen langsung, job fair berubah menjadi semacam “bazar pelatihan” di mana pencari kerja ditawari berbagai program pelatihan dan penempatan kerja, yang sebagian besar mensyaratkan biaya tidak sedikit. Pencari kerja akhirnya tidak menemukan pekerjaan, melainkan “persyaratan menuju pekerjaan”.
Ini tentu mengecewakan, terutama bagi mereka yang datang dari kelompok ekonomi lemah yang berharap bisa langsung mendapat peluang kerja, bukan beban biaya tambahan.
Bukankah ide awal job fair adalah mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan yang membuka lowongan? Tapi di sini, yang dicari bukan pelamar, melainkan peserta didik baru. Pekerjaanmu nanti? Nanti dulu, ikut pelatihan dulu. Siapa tahu nanti disalurkan. Asal memenuhi syarat, punya modal, dan bersedia berjuang dengan doa dan deposit.
Ada juga perusahaan penyalur tenaga kerja, yang menawarkan pekerjaan di luar negeri. Bukan dengan syarat kemampuan, tapi dengan syarat pembayaran. “Mau kerja? Bisa, asal ikut program kami dulu. Ada biaya, tentu saja. Tapi kami bantu sampai berangkat… kalau lolos.”
Solusi atau Sirkus?
Pemerintah daerah bangga. Job fair sukses. Ribuan peserta datang. Tapi sayangnya, ribuan peserta pulang dengan brosur, bukan dengan tawaran kerja. Yang dapat kerja hari itu? Bisa dihitung dengan jari. Tapi yang dapat daftar pelatihan? Banyak. Job fair jadi ajang bisnis pelatihan dan perantara kerja, bukan jembatan langsung ke dunia industri.
Lalu perusahaan-perusahaan yang benar-benar butuh karyawan ke mana? Entahlah. Mungkin mereka sibuk merekrut lewat internet, atau mungkin mereka ikut juga… tapi tenggelam di antara stand LPK dan perusahaan penyalur tenaga kerja.
Job Fair, Harapan Pencari Kerja atau Ajang Promosi Lembaga Pelatihan?
Job fair semestinya menjadi ruang strategis untuk mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan yang benar-benar membuka lowongan. Tempat di mana mereka yang ingin bekerja bisa bertemu langsung dengan HRD, menyerahkan CV, bahkan mungkin langsung mengikuti wawancara singkat.
Namun sayangnya, dalam beberapa pelaksanaan job fair, yang terlihat justru dominasi lembaga pelatihan kerja (LPK) dan perusahaan penyalur tenaga kerja. Alih-alih bertemu dengan perusahaan pengguna tenaga kerja secara langsung, para pencari kerja justru banyak ditawari brosur kursus, pelatihan, atau program kerja ke luar negeri yang harus diikuti terlebih dahulu.
Tentu, pelatihan dan peningkatan kompetensi itu penting. Tapi apakah ini harus menjadi wajah utama dari sebuah job fair? Jika fokusnya lebih banyak pada “kursus dulu baru kerja”, maka semangat awal kegiatan ini pun bergeser. Pencari kerja datang dengan harapan mendapat peluang kerja, namun pulang membawa daftar biaya pelatihan dan program penempatan.