Cikalpedia
Cerpen

Tuhan dari Kolom Komentar

Cikalpedia.id – Di suatu pojok dunia yang tak terdaftar dalam peta digital, hiduplah seorang pria bernama Agie. Ia tinggal di kamar kost sempit, berdinding triplek, beratap seng yang bersahutan dengan hujan. Tapi jangan tertipu oleh bau apek dan tumpukan mie instan di sudut kamarnya, karena setiap malam, Agie berubah menjadi Tuhan.

Bukan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, tentu saja. Tapi Tuhan yang menciptakan opini dan kehancuran karakter dalam satu kali postingan. Di tangan Agie, kata-kata adalah palu, dan tokoh-tokoh publik adalah paku-paku tak berdosa.

Agie tak punya pekerjaan tetap. Tapi jangan remehkan, dia bekerja lebih keras dari menteri mana pun. Setiap hari, ia duduk di atas kasur tipis dengan pegas mencuat seperti duri kehidupan, menatap layar ponsel yang retaknya sudah seperti pola batik. Tangannya sibuk menari, bukan di atas alat musik, tapi di kolom komentar.

Jemarinya cepat, lebih cepat dari otaknya sendiri. Karena berpikir butuh energi, dan Agie sudah tak punya cukup untuk itu.

Agie dulu seorang Idealis. Dulu suaranya lantang di lapangan, sekarang nyaring di dunia maya. Bedanya, dulu ia bawa spanduk, sekarang bawa dendam. Dulu ia kritik kebijakan, sekarang ia kritik kepribadian. Dan yang lebih tragis: dulu ia punya idealisme, sekarang hanya punya kuota murah hasil nebeng Wi-Fi tetangga.

Ia punya sepuluh akun anonim. Namanya macam-macam: “SuaraRakyatAsli,” “PemersatuBangsa,” “MataKebenaran,” hingga yang lebih puitis seperti “HatiNuraniKita.” Semua akun itu satu suara, yaitu suara Agie sendiri yang sudah bertahun-tahun menganggur, hidup dari belas kasihan warung kopi dan kuota darurat.

Setiap pagi, setelah mengaduk kopi saset dan menghisap sebatang rokok warisan semalam, Agie mulai “kerja”. Ia membuka lini masa, mencari bahan, berita pembangunan, potret pejabat menanam pohon, atau video ibu-ibu senam di taman kota. Semua bisa jadi sasaran.

Baca Juga :  Ganjar Pranowo Diskusi Bareng Milenial dan Gen Z Kuningan, Bahas Guru hingga Bonus Demografi

“Pemimpin macam apa yang senam di saat rakyat lapar?” tulisnya di satu akun.

“Korupsi terselubung lewat pohon!” tulisnya di akun lain.

Tak ada yang luput. Jalan berlubang, salah pemimpin. Jalan mulus, proyek bancakan. Anak sekolah tersenyum, pencitraan murahan. Anak sekolah menangis, bukti kegagalan sistem.

Agie bangga. Fotonya tak dikenal, tapi komentarnya viral. Namanya tak pernah disebut, tapi akun-akunnya dikutip ratusan kali.

Malam harinya, Agie akan tertawa sendiri sambil menonton debat kusir yang ia picu. Ia bukan siapa-siapa, tapi merasa mengendalikan semuanya. Ia duduk di singgasana bernama “engagement rate”, memeluk kebanggaan semu dari retweet dan likes.

Di luar kamar sempitnya, jalan yang ia cela dibangun orang-orang yang benar-benar bekerja. Pohon yang ia hina, bertumbuh rindang dan jadi tempat bermain anak-anak. Sementara Agie, masih menuduh dunia dari kasur bau dan layar retak.

Padahal kemiskinan Agie sendiri lebih banyak karena malas mandi, ogah kerja, dan percaya bahwa ketidakberdayaannya adalah semata-mata salah orang lain. Dalam kamus Agie, tanggung jawab pribadi sudah lama dihapus, diganti dengan kalimat pamungkas, “Pemerintah ngapain aja sih?”

Agie memang hebat. Ia bisa membuat berita kematian anak ayam jadi teori konspirasi. Bisa menjadikan foto pejabat tersenyum jadi bukti korupsi terselubung. Ia punya keahlian langka, membalik fakta dan memukulnya dengan retorika.

Orang-orang mulai mengenal akun-akun itu. Di grup keluarga, ibu-ibu mulai mengutip statusnya. Di grup alumni, bapak-bapak menyebarkan postingannya. Ia merasa berkuasa, meskipun yang disebar hanya hoaks setengah matang dan amarah basi. Ia seperti ilusi, tak nyata, tapi berisik.

Ia seperti penguasa kecil dunia digital. Segala hal ia komentari, segala keputusan ia cela. Padahal, untuk mengurus kebersihan kosannya sendiri pun ia tak sanggup. Di dunia maya ia rapi, suci, dan maha benar. Di dunia nyata, ia adalah gumpalan frustrasi yang menua tanpa arah.

Baca Juga :  Bupati Kuningan Tarawih Perdana Bersama Menhub Pituin Kuningan

Suatu hari, listrik di kamarnya padam. HPnya mati, koneksi putus, tak ada notifikasi, tak ada komentar, tak ada likes, tak ada dunia.

Dan untuk pertama kalinya, Agie sadar, tanpa akun-akun itu, ia tak lebih dari bayangan sendiri, teriak dalam gelap, berharap didengar, tapi tak pernah benar-benar ada.

Dan akhirnya, Agie kembali ke dunia nyata. Dunia yang tak bisa dikomentari begitu saja. Dunia yang menuntut kerja, bukan cuitan.

Kini, Agie duduk di warung, menatap ponsel mati, tak ada yang peduli. Ia bukan siapa-siapa. Bahkan colokan pun menolaknya, listrik sudah diputus.

Ia mendengar tawa anak-anak dari taman kota. Taman yang dulu ia sebut “proyek bancakan.” Ia melihat jalan mulus yang dulu ia sebut “jalan ke neraka korupsi.” Semua itu nyata, semua itu hasil kerja. Sementara hasil kerjanya? Hanya amarah kosong dan pengikut palsu.

Dan di tengah kesunyian, Agie akhirnya sadar satu hal, Tuhan sejati tidak tinggal di kolom komentar.

Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri

Related posts

Tes Urine Massal di Lapas Kuningan, Petugas hingga Napi Disasar

Cikal

Dari Kuningan untuk Negeri, Uniku Lepas 426 Sarjana

Cikal

APK Paslon Dirahmati Terpasang di Reklame Pemda, Bawaslu Kuningan: Langgar Aturan!

Cikal

Leave a Comment