Cikalpedia
Bengpri

Dari Rivalitas Menuju Harmoni, Sebuah Teladan dari Tokoh Kuningan

Cikalpedia.id – Di tengah semarak merah putih yang berkibar gagah dalam gelaran Kirab Bendera Merah Putih di depan Gedung Perundingan Linggarjati, masyarakat Kuningan disuguhi pemandangan yang jauh lebih hangat dari sekadar seremoni.

Sebuah pemandangan yang berbicara lebih banyak tentang kedewasaan, kebersamaan, dan harapan: Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, bersalaman hangat dengan M. Ridho Suganda, rival politiknya dalam kontestasi Pilkada kemarin.

Mereka tersenyum, bertegur sapa, tanpa canggung, tanpa jarak. Seolah tak pernah bersaing dalam panggung demokrasi yang kadang menyisakan luka. Ini bukan hanya gestur sopan santun, melainkan simbol dari kedewasaan berpolitik yang sangat dibutuhkan dalam iklim demokrasi lokal kita.

Di tengah gegap gempita Kirab Bendera Merah Putih yang digelar di depan Gedung Perundingan Linggarjati, sebuah tempat yang penuh nilai sejarah dan simbol perjuangan bangsa, masyarakat Kuningan menyaksikan sesuatu yang tak kalah bersejarah: dua tokoh besar yang sempat bersaing dalam Pilkada kemarin, Dian Rachmat Yanuar dan M. Ridho Suganda, berdiri berdampingan. Bukan sekadar hadir bersama, tapi juga saling menyapa dengan senyum yang tulus, hangat, tanpa sekat.

Di mata awam, ini mungkin cuma sapaan biasa. Tapi buat siapa pun yang mengikuti dinamika politik Kuningan beberapa waktu ke belakang, ini adalah tanda yang sangat positif. Ini tentang bagaimana rivalitas bisa berubah menjadi keakraban, tentang bagaimana kedewasaan politik bisa tumbuh di tengah persaingan yang keras.

Dian dan Ridho bukan hanya dua tokoh dengan basis massa kuat, mereka juga pernah saling berhadapan dalam kontestasi politik yang tidak ringan. Tapi hari itu, tidak ada lagi panggung kampanye, tidak ada lagi spanduk janji-janji. Yang tersisa hanya satu tujuan bersama: Kuningan harus terus maju.

Baca Juga :  Rangkaian Bulan Bung Karno, PDIP Mengobati dan Menyapa Warga Pajambon

Bagi masyarakat Kuningan, peristiwa itu lebih dari sekadar momen langka. Ini adalah pengingat bahwa demokrasi bukan ajang permusuhan, melainkan ruang untuk menawarkan gagasan terbaik bagi rakyat. Ketika kontestasi selesai, saatnya semua kembali pada satu tujuan: membangun Kuningan yang lebih baik.

Keakraban Dian dan Ridho mengajarkan kita bahwa rivalitas politik tidak perlu berujung pada retaknya relasi antar pribadi. Justru, dari perbedaan itu bisa tumbuh sinergi yang kokoh jika dibangun atas dasar cinta kepada tanah kelahiran.

Masyarakat butuh teladan seperti ini. Di saat polarisasi sering kali mengoyak hubungan sosial, kehadiran dua tokoh ini dalam satu frame keakraban memberi napas baru tentang makna persatuan. Tidak ada ego yang ditonjolkan, yang ada hanya semangat saling mendukung demi kemajuan Kuningan.

Kirab Merah Putih yang digelar di lokasi bersejarah tempat bangsa ini pernah menegosiasikan kedaulatan, seolah menjadi saksi bisu bahwa perjuangan belum selesai. Namun kali ini, bukan dengan senjata atau diplomasi, tapi dengan kerukunan para pemimpin daerah yang memilih bersatu.

Inilah esensi dari demokrasi yang matang. Bukan siapa yang menang, tapi apa yang bisa dikerjakan bersama setelahnya. Dian dan Ridho sudah menunjukkan caranya. Kini, giliran kita semua menjaga semangat ini tetap menyala.

Ada harapan yang tumbuh dari situ. Bahwa politik ternyata tidak selalu harus soal menang-kalah. Tidak selalu harus soal siapa yang lebih benar. Politik yang sehat justru adalah politik yang mampu merangkul, bukan memukul. Politik yang bisa menjembatani perbedaan, bukan memperlebar jurang.

Masyarakat Kuningan, khususnya generasi muda, butuh contoh seperti ini. Dalam situasi di mana sering kali politik membuat orang terpecah, kehadiran dua tokoh yang menunjukkan kedewasaan seperti ini adalah angin segar. Kita diajarkan bahwa perbedaan pilihan bukan alasan untuk bermusuhan. Bahwa setelah pilkada selesai, saatnya kembali membangun bersama.

Baca Juga :  Bawaslu Kuningan Petakan 7 Isu Rawan Pilkada 2024

Bayangkan jika semua tokoh daerah bersikap seperti ini. Mungkin pembangunan akan lebih cepat, energi tidak habis untuk saling serang, tapi digunakan untuk saling dorong dan saling topang.

Tidak mudah memang. Butuh kebesaran hati untuk bisa menurunkan ego, mengakui perbedaan, dan tetap menjalin hubungan baik demi rakyat. Tapi Dian dan Ridho sudah membuktikan bahwa itu bisa. Dan karena mereka bisa, maka harapan kita tumbuh, Kuningan bisa jadi contoh.

Acara Kirab Merah Putih kemarin bukan hanya jadi simbol cinta pada tanah air, tapi juga jadi simbol cinta pada daerah sendiri. Di depan Gedung Perundingan Linggarjati , tempat dulu bangsa ini berunding soal nasib kemerdekaan, kini para tokoh Kuningan berunding dalam diam, lewat gestur sederhana, senyum, salam, dan sapa.

Semoga ini bukan hanya momen sesaat. Semoga ini jadi awal dari kolaborasi nyata. Karena Kuningan terlalu berharga untuk dibangun sendirian. Dibutuhkan semua tangan, semua hati, dan semua energi untuk menjadikannya lebih baik.

Dan kalau para pemimpinnya sudah mulai bersatu, kita sebagai masyarakat pun harus ikut merapat. Meninggalkan fanatisme yang membutakan, dan mulai percaya bahwa kita semua ada di perahu yang sama.
Dari Linggarjati, kita belajar arti perundingan. Dari Dian dan Ridho, kita belajar arti perdamaian.

Hanya Opini by Bengpri

Related posts

Mahasiswa Uniku Dibekali Cara Bikin Personal Branding ala Gen Z

Cikal

Narendra Kiemas Kukuhkan Ribuan Relawan di Kuningan

Cikal

Tandang Makalangan, Spirit Baru Kuningan di Usia 527 Tahun

Alvaro

Leave a Comment