KUNINGAN – Di tengah perdebatan arah branding Kabupaten Kuningan, Anggota DPR RI Yanuar Prihatin melontarkan gagasan yang mencuri perhatian: menjadikan seni kreatif Angklung sebagai identitas daerah sekaligus penggerak ekonomi.
Menurut Yanuar, dari sekian banyak alternatif untuk membangun citra dan ekonomi Kuningan, seni kreatif—khususnya Angklung diatonis—memiliki keunggulan paling rasional dan berdaya saing global.
“Saya cari datanya. Ternyata, pencipta tangga nada diatonis pada Angklung berasal dari Citangtu, Kuningan. Ini bisa jadi basis branding yang otentik dan bersejarah,” ujar Yanuar dalam sebuah diskusi, baru-baru ini.
Kuningan Perlu Realistis dalam Menentukan Arah
Dalam paparannya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini mengupas satu per satu lima opsi branding daerah: industri, jasa-perdagangan, pendidikan, UMKM, dan pariwisata. Menurutnya, lima hal itu sudah “diambil” atau lebih cocok untuk kabupaten/kota tetangga.
- Kota Industri? Lebih cocok untuk Majalengka yang punya keunggulan akses tol, pelabuhan dan bandara.
- Kota Jasa dan Perdagangan? Sudah lebih dulu dimiliki Cirebon yang berada di jalur lintasan utama.
- Kota Pendidikan? Berat bersaing dengan Bandung dan Yogyakarta.
- Pusat Kerajinan UMKM? Bali, bahkan Tasikmalaya dan Ciamis, lebih unggul.
- Pariwisata Alam dan Religi? Gunung Bromo dan Gunung Jati masih terlalu dominan.
“Kalau mau branding, jangan sekadar ikut-ikutan. Harus ada akar, sejarah, dan kekuatan lokal yang khas. Di sinilah Angklung diatonis punya nilai lebih,” tegas Yanuar.
Angklung: Dari Citangtu ke Dunia
Yanuar menyoroti potensi Angklung diatonis yang secara historis diperkenalkan pertama kali saat peringatan HUT Perundingan Linggajati. Tak sekadar warisan seni, Angklung modern dari Kuningan sudah terbukti mendunia dan memenuhi lima syarat untuk menjadi ikon:
- Punya akar sejarah kuat.
- Mudah dipromosikan dan dipertunjukkan.
- Dikenal masyarakat luas.
- Investasi rendah dan berbasis komunitas.
- Sudah menembus pasar internasional.
Dengan dukungan kebijakan, Yanuar yakin jika Kuningan rutin menggelar Festival Angklung Internasional dua kali setahun, efek ekonominya akan nyata.
“Itu akan jadi mesin ekonomi. Hotel penuh, restoran hidup, pengrajin bambu dapat order, pelaku seni tumbuh. Ini strategi soft power yang langsung berdampak pada ekonomi masyarakat,” kata Yanuar.
Festival Angklung Bisa Jadi Game Changer
Di akhir paparannya, Yanuar mengajak pemerintah daerah agar berani mengambil langkah out of the box dalam menentukan branding daerah.
“Kita tidak perlu meniru daerah lain. Kuningan punya kekuatan sendiri. Angklung adalah seni, budaya, sejarah, dan ekonomi yang berpadu. Tinggal bagaimana komitmen kita untuk menjadikannya nyata,” pungkasnya.
Jika direalisasikan dengan serius, bukan tidak mungkin Kuningan akan dikenal dunia bukan hanya karena Ciremai, tapi karena irama bambu yang menggema dari Citangtu ke pentas global.
