Yanuar menyoroti potensi Angklung diatonis yang secara historis diperkenalkan pertama kali saat peringatan HUT Perundingan Linggajati. Tak sekadar warisan seni, Angklung modern dari Kuningan sudah terbukti mendunia dan memenuhi lima syarat untuk menjadi ikon:
- Punya akar sejarah kuat.
- Mudah dipromosikan dan dipertunjukkan.
- Dikenal masyarakat luas.
- Investasi rendah dan berbasis komunitas.
- Sudah menembus pasar internasional.
Dengan dukungan kebijakan, Yanuar yakin jika Kuningan rutin menggelar Festival Angklung Internasional dua kali setahun, efek ekonominya akan nyata.
“Itu akan jadi mesin ekonomi. Hotel penuh, restoran hidup, pengrajin bambu dapat order, pelaku seni tumbuh. Ini strategi soft power yang langsung berdampak pada ekonomi masyarakat,” kata Yanuar.
Festival Angklung Bisa Jadi Game Changer
Di akhir paparannya, Yanuar mengajak pemerintah daerah agar berani mengambil langkah out of the box dalam menentukan branding daerah.
“Kita tidak perlu meniru daerah lain. Kuningan punya kekuatan sendiri. Angklung adalah seni, budaya, sejarah, dan ekonomi yang berpadu. Tinggal bagaimana komitmen kita untuk menjadikannya nyata,” pungkasnya.
Jika direalisasikan dengan serius, bukan tidak mungkin Kuningan akan dikenal dunia bukan hanya karena Ciremai, tapi karena irama bambu yang menggema dari Citangtu ke pentas global.