Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi panggung utama interaksi masyarakat. Dari bangun tidur hingga hendak terlelap, sebagian besar dari kita terhubung pada lini masa yang tak pernah henti menyajikan opini, berita, hiburan, bahkan ujaran kebencian.
Ruang publik yang dulunya bersifat nyata kini bertransformasi menjadi ruang maya, di mana batas antara fakta dan opini, etika dan ekspresi, kian kabur. Dalam lanskap seperti ini, pertanyaannya sederhana namun mendalam: masihkah Pancasila relevan di tengah derasnya arus informasi dan kebisingan digital?
Besarnya ruang digital mampu membentuk opini dan sikap masyarakat. Fenomena seperti polarisasi politik, cancel culture, hingga hoaks viral menunjukkan bahwa media sosial tak hanya mengubah cara berkomunikasi, tetapi juga cara berpikir dan bersikap. Jika tidak disaring dengan nilai-nilai kebangsaan, ruang digital bisa menjadi ladang perpecahan. Di sinilah Pancasila hadir, bukan sebagai dokumen kuno, tetapi sebagai kompas nilai yang hidup, yang perlu disuarakan ulang dengan cara dan bahasa zaman ini.
Pancasila bukan sekadar ideologi dasar negara, tapi juga sistem nilai yang seharusnya menjadi dasar dalam bersikap termasuk saat berselancar di media sosial. Masing-masing sila menyimpan pesan etika yang sangat relevan dalam menghadapi tantangan dunia digital saat ini.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan kita untuk sadar bahwa ada nilai luhur dalam setiap tindakan, termasuk di dunia maya. Menyebarkan fitnah atau ujaran kebencian bukanlah bentuk kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab mengingatkan bahwa di balik setiap akun ada manusia nyata. Budaya saling hujat, body shaming, dan bullying digital mencerminkan hilangnya adab berkomunikasi yang beradab.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia menjadi prinsip penting dalam mencegah perpecahan yang disebabkan oleh konten provokatif dan polarisasi politik yang sering dimainkan lewat meme atau video pendek.