Cikalpedia
Opini

Bela Negara Melawan Algoritma

Widya Nurmala, Mahasiswi UNISA Kuningan

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi panggung utama interaksi masyarakat. Dari bangun tidur hingga hendak terlelap, sebagian besar dari kita terhubung pada lini masa yang tak pernah henti menyajikan opini, berita, hiburan, bahkan ujaran kebencian.

Ruang publik yang dulunya bersifat nyata kini bertransformasi menjadi ruang maya, di mana batas antara fakta dan opini, etika dan ekspresi, kian kabur. Dalam lanskap seperti ini, pertanyaannya sederhana namun mendalam: masihkah Pancasila relevan di tengah derasnya arus informasi dan kebisingan digital?

Besarnya ruang digital mampu membentuk opini dan sikap masyarakat. Fenomena seperti polarisasi politik, cancel culture, hingga hoaks viral menunjukkan bahwa media sosial tak hanya mengubah cara berkomunikasi, tetapi juga cara berpikir dan bersikap. Jika tidak disaring dengan nilai-nilai kebangsaan, ruang digital bisa menjadi ladang perpecahan. Di sinilah Pancasila hadir, bukan sebagai dokumen kuno, tetapi sebagai kompas nilai yang hidup, yang perlu disuarakan ulang dengan cara dan bahasa zaman ini.

Pancasila bukan sekadar ideologi dasar negara, tapi juga sistem nilai yang seharusnya menjadi dasar dalam bersikap termasuk saat berselancar di media sosial. Masing-masing sila menyimpan pesan etika yang sangat relevan dalam menghadapi tantangan dunia digital saat ini.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan kita untuk sadar bahwa ada nilai luhur dalam setiap tindakan, termasuk di dunia maya. Menyebarkan fitnah atau ujaran kebencian bukanlah bentuk kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab.

Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab mengingatkan bahwa di balik setiap akun ada manusia nyata. Budaya saling hujat, body shaming, dan bullying digital mencerminkan hilangnya adab berkomunikasi yang beradab.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia menjadi prinsip penting dalam mencegah perpecahan yang disebabkan oleh konten provokatif dan polarisasi politik yang sering dimainkan lewat meme atau video pendek.

Baca Juga :  Generasi Muda dan Keharusan Menghidupkan Nilai-nilai Pancasila

Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan menuntut kita untuk tidak mudah terpancing dan ikut menyebarkan informasi sebelum dicek kebenarannya. Budaya scroll & share harus digantikan dengan pause & verify.

Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesiadapat dimaknai sebagai ajakan untuk menciptakan ruang digital yang inklusif, ramah untuk semua golongan, tanpa diskriminasi.

Karena hal itu, internasilasi nilai-nilai Pancasila harus dilakukan dalam seluruh ruang kehidupan masyarakat, termasuk ruang digital, untuk menjaga keutuhan bangsa dari ancaman disinformasi dan perpecahan. Artinya, Pancasila tidak boleh berhenti di buku-buku teks, tetapi harus hidup dalam jempol dan pikiran setiap pengguna media sosial Indonesia.

Sebagai generasi digital native, kita tidak bisa lagi hanya jadi penonton di tengah perubahan ini. Mahasiswa, influencer, kreator konten semuanya punya peran strategis untuk menjadikan media sosial sebagai ruang edukatif dan transformatif. Menyuarakan Pancasila bukan berarti mengutip teks lama secara kaku, tapi menerjemahkannya dalam tindakan nyata.

Karena itu, tugas generasi bangsa bukan hanya menjadi pengguna media sosial, tetapi menjadi penjaga nilainya. Sebab, seperti kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Hari ini, musuh kita bukan tentara asing, tapi algoritma yang memecah kita, dan konten yang menjauhkan kita dari nilai luhur bangsa.

Ditulis oleh: Widya Nurmala, Mahasiswi Universitas Islam Al-Ihya Kuningan

Related posts

Kuningan Terima 63 Unit Alsintan dari Kementan, Pacu Produktivitas Menuju Swasembada Pangan

Cikal

Ridho Sindir Halus, Kamdan Roasting Lawan di Pengundian Nomor Urut

Cikal

Bank Kuningan Gandeng Kejari Tangani Kasus Perdata dan TUN

Cikal

Leave a Comment