Pemerintah Kabupaten Kuningan baru saja mendapat suntikan dana dari Bank BJB sebesar Rp74 miliar dengan yg tenor pembayaran empat tahun. Di atas kertas, ini tampak seperti kabar baik — seolah ada energi baru untuk mempercepat pembangunan. Namun di balik euforia angka itu, kita seharusnya menaruh tanda tanya besar: apakah ini prestasi atau justru penundaan bom waktu fiskal?
Pinjaman bukanlah dosa, tetapi juga bukan kemuliaan. Ia adalah keputusan berisiko yang menuntut tanggung jawab jangka panjang. Pemerintah boleh saja menyebutnya sebagai langkah strategis untuk mempercepat program prioritas, namun publik berhak tahu: apa saja yang akan dibangun dengan dana sebesar itu? Dan lebih penting lagi, mampukah keuangan daerah menanggung cicilannya tanpa memangkas kebutuhan publik yang lebih mendasar?
Jika pengelolaan keuangan daerah diibaratkan rumah tangga, maka meminjam Rp74 miliar adalah keputusan untuk berutang sambil berharap penghasilan meningkat. Tapi bagaimana bila pendapatan asli daerah (PAD) stagnan, sementara beban operasional terus membengkak? Maka yang tersisa hanyalah tumpukan janji yang kelak menekan ruang fiskal pemerintahan berikutnya.
Pinjaman daerah sering kali dibungkus dengan istilah “pembiayaan kreatif”. Padahal, dalam banyak kasus, ia justru menjadi “jalan pintas politik” untuk menambal kebutuhan sesaat, tanpa perhitungan matang terhadap kemampuan bayar. Inilah yang saya sebut sebagai bom waktu fiskal — meledaknya bukan hari ini, tetapi di masa depan ketika bunga dan cicilan mulai menjerat.
Rakyat tentu tidak anti terhadap pembangunan. Tetapi rakyat berhak mengingatkan bahwa kehadiran utang publik harus disertai transparansi publik. Berapa bunganya, proyek apa saja yang dibiayai, dan bagaimana jaminan akuntabilitasnya. Tanpa keterbukaan, utang sebesar itu bisa berubah menjadi beban yang diwariskan secara diam-diam kepada masyarakat.
Pemerintah seharusnya lebih berani membangun kemandirian fiskal: memperkuat PAD, mengoptimalkan aset daerah, dan mengurangi kebocoran anggaran. Membangun daerah tidak harus dengan utang, tetapi dengan kreativitas, efisiensi, dan keberpihakan yang tulus pada kepentingan publik.
Sebab prestasi sejati bukan ketika pemerintah mampu berutang lebih banyak, melainkan ketika ia mampu menyejahterakan rakyat tanpa menambah beban masa depan.
Dadan Satyavadin
Pemerhati Kebijakan Publik, Mantan Tim Sukses Pilkada Kuningan