Bulan Zulhijjah datang menjemput dan selalu mengingatkan kita akan dua peristiwa sakral sepanjang perjalanan manusia, haji, dan kurban.
Qurban yang memiliki makna kedekatan mengingatkan kita pada salah satu peristiwa paling sakral sepanjang perjalanan umat manusia. Kisah itu ialah hikayat tentang kesalehan yang menghantar manusia pada kedekatan dengan Rabb-nya, yakni sejarah kesalehan Nabiyallah Ibrahim dan puteranya Ismail As.
Kisah keduanya menorehkan banyak ibrah atau pembebasan atas tanggung jawab dari sebuah tanggungan bagi kaum muslimin. Sepasang bapak dan anak pilihan Tuhan itu piawai dalam memanaj hari dan hawa nafsu dalam melakukan proses muraqabah atau menyerahkan rezeki kepada Allah Swt.
Haji, yang sarat pesan moral akan kerendahan hati dan sikap tawadu’, menapaktilasi proses pengorbanan dan perjuangan keluarga Nabi Ibrahim As. dalam meraih kesalehan. Sampai kini panggilan haji menjadi buluh perindu bagi hamba Allah sebagai proses muraqabah untuk meraih kemabruran.
Sementara itu, qurban menjadi sejarah monumental yang tak tergantikan. Dalam syariat kurban, semangat jihad Nabi Ibrahim untuk mengorbankan hidupnya yang dilandasi semangat keikhlasan terus menuai perhatian Allah Swt. untuk menguji kadar kesalehannya.
Tatkala perintah Allah hadir melalui mimpi agar Ibrahim menyembelih putera tercintanya, Ismail, yang baru menginjak remaja, semangat kepatuhan ayah dan anak ini pun tak bergeming. Kepatuhan dan kesalehan keduanya pun menjadi awal disyariatkannya kurban, momen tersebut diabadikan dalam Al-Qur’an QS. Ash-Shaffat: 102.
Qurban Menembus Batas
Fenomena qurban melahirkan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial pada diri penqurban. Hewan yang dikurbankan menjadi simbol pengikis nafsu hayawani yang ada pada manusia, yaitu sifat egois, serakah, rakus, ingin menang sendiri, senang mengeksploitasi yang lemah, memperkaya diri sendiri, dan merasa paling hebat. Semangat kedekatan terpancar indah saat kurban tertunaikan.
Qurban sarat dengan hikmah berbagi dan peduli. Manfaat kurban menembus batas dan jarak. Dengan berkurban, semua menjadi dekat tanpa sekat. Kedekatan yang dibangun dengan sentuhan iman akan melahirkan semangat persaudaraan lintas wilayah.
Qurban yang tertunai tidak lagi melihat suku, bangsa, ras, dan warna kulit. Bahkan jarak yang sulit bukan lagi rintangan untuk menghantarkan senyuman saudara kita di pojok dusun tertinggal.
Makna Sosial Qurban
Syariat qurban sarat akan makna kesalehan. Di dalamnya terkandung pesan vertikal dan horizontal. Hal itu akan tercermin dari sikap dan perilaku pekurban itu sendiri.
Secara vertikal, kemampuannya melaksanakan syariat qurban menjadikan gugurnya kewajiban terhadap kelebihan atas hartanya. Sedangkan tanggung jawab sosialnya secara horizontal untuk berbagi dan peduli dengan kaum miskin dan lingkungannya menjadi perekat ukhuwah di antara mereka
Ketika qurban yang ditunaikan, senyum kegembiraan kaum papa merekah tatkala menerima daging kurban yang menjadi penghancur dinding keangkuhan sosial. Tak ada lagi dikotomi di tengah masyarakat, karena simbul keharmonisan telah terjalin oleh tetesan darah hewan kurban. Keseimbangan sosial, semangat kebersamaan, solidaritas, dan arti kesetiakawanan menjadi puncak persaudaraan umat.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 28: “(Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir,”
Subhanallah, sepotong daging kurban menghapus derita kaum duafa, menguntai senyum, dan menebar doa. Tentunya keikhlasan doa yang tumbuh dari rasa gembira dan bahagia duafa menambah keberkahan harta pekurban.
Qurban tanpa batas menjadi perekat, menebar empati, peduli, membangun kebersamaan, dan mengikat keharmonisan. Indah berbagi dengan dhuafa bersama qurban yang tertunaikan.
Penulis: Asep Kamaludin, S.IP., Aktivis MPKS Muhammadiyah Kuningan.
