KUNINGAN – Seragam cokelat tua itu tampak mencolok di antara sarung dan peci para santri. Di tangan salah satu polisi, bukan borgol atau HT, melainkan sebungkus bibit jagung.
Pagi Rabu, (6/8/2025), lahan seluas 700 meter persegi di belakang Pondok Pesantren Syamsul Huda, Kelurahan Windusengkahan, Kecamatan Kuningan, mendadak ramai. Bukan karena apel pasukan atau kegiatan belajar-mengajar. Di tanah itu, sejumlah santri dan polisi menunduk, menggali, menanam, dan menepuk-nepuk tanah, memastikan bibit tertanam sempurna.
Kapolsek Kuningan, AKP Bambang Poernomo, datang lebih awal dari sebagian santri. Ia tak membawa berkas perkara, melainkan membawa bibit jagung hibrida didampingi pimpinan pondok, KH Endang.
Hari itu, Ponpes Syamsul Huda menjadi satu dari sekian titik pelaksanaan program bertajuk “Penanaman Jagung Serentak Santri Se-Jawa Barat”. Inisiatif ini adalah bagian dari ikhtiar swasembada pangan yang digerakkan dari bawah, melibatkan elemen yang tak biasa, aparat kepolisian dan kalangan pesantren.
Acara simbolik dilakukan tanpa banyak protokol. Polisi menyerahkan bibit kepada pengasuh pondok, Ustaz Tyas Aditya, S.Pd. Tak lama kemudian, deretan cangkul mulai bekerja. Lumpur menempel di sepatu lars dan ujung sarung yang tersingkap. Tapi tak ada yang mengeluh. Mereka seperti sepakat bahwa pekerjaan ini bukan sekadar menanam jagung, melainkan menyemai masa depan.
Di tengah krisis pangan global dan fluktuasi harga bahan pokok, pesantren Syamsul Huda memilih tidak hanya mengandalkan logistik dari luar. Mereka menanam. Mereka merawat. Dalam diam, mereka melawan ketergantungan.
“Semoga jagung ini tumbuh bukan cuma untuk dimakan, tapi juga menumbuhkan kemandirian,” ujar KH Endang dalam doa penutup.
Tidak banyak pidato. Hanya cangkul, tanah, polisi, dan santri yang turun menanam keyakinan bahwa kedaulatan pangan dimulai dari lahan sekecil apa pun. (ali)
