Hari itu, Lita menemukan bukti: tangkapan layar histori deposit di HP suaminya. Mereka bertengkar hebat. Tapi yang paling menyakitkan bukan teriakannya—melainkan tatapan Lita yang penuh jijik.
“Jadi ini alasan kamu diem terus di rumah? Kamu bukan cuma pengangguran, kamu pecundang, Mar.”
Kalimat itu menghantam lebih keras dari pukulan.
Malam itu Damar pergi. Bukan kabur. Tapi mundur. Ia tidur di kosan temannya, mencoba berpikir jernih. Ia sadar—ia telah kehilangan respek, dari istrinya, bahkan dari dirinya sendiri.
Tapi di balik itu semua, ia juga sadar sesuatu:
Ia bukan ingin kaya cepat. Ia hanya ingin dianggap cukup.
Dua minggu berlalu. Lita mendapat surat dari Damar. Isinya singkat:
“Aku salah. Tapi kamu pun tak sepenuhnya benar. Aku minta maaf karena membuatmu sendiri. Tapi aku juga manusia yang ingin dihargai, bukan dibandingkan.
Aku tak akan minta kita kembali. Aku cuma mau bilang: aku akan sembuh, dan suatu hari, aku akan utuh lagi—meski bukan untukmu.”
Lita membaca surat itu berulang kali. Matanya panas. Bukan karena marah. Tapi karena diam-diam… ia pun merasa bersalah. Karena dalam rumah tangga, kekalahan bukan selalu milik yang kalah uang—tapi milik mereka yang berhenti saling menghormati.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri