Mereka mempertanyakan dasar keputusan tersebut, apakah benar didasarkan pada evaluasi kinerja? Atau justru ada motif lain yang mengarah pada pembungkaman terhadap sosok yang tidak mudah diarahkan?
“Jika pejabat seperti Elon, yang loyal, berprestasi, dan mengabdi dalam senyap, malah dimarginalkan, maka publik akan kehilangan kepercayaan pada sistem kepegawaian kita,” lanjutnya.
Uha menambahkan bahwa mutasi harus berpijak pada prinsip meritokrasi, bukan sentimen politik atau loyalitas semu. Ia mengutip Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 yang menekankan pentingnya mutasi berbasis kinerja dan kebutuhan organisasi.
Ia juga menyentil langsung Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, yang dikenal sebagai alumni Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS). “Kami yakin, Pak Bupati masih punya kebesaran hati untuk meninjau kembali keputusan ini. Lihatlah bukan hanya dari struktur, tapi dari nilai kemanusiaan.” Kata Uha
LSM Frontal mengajak masyarakat sipil dan akademisi untuk tidak apatis terhadap dinamika birokrasi daerah. Menurut mereka, kasus Elon adalah momentum refleksi bagaimana ASN berprestasi seharusnya dirawat, bukan disingkirkan.
Elon sendiri belum memberikan komentar langsung atas isu mutasinya. Seperti biasa, ia memilih diam dan tetap menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Tapi bagi banyak orang, diamnya Elon justru berbicara lebih lantang tentang keteguhan, tentang dedikasi, dan tentang seorang pejabat yang benar-benar bekerja untuk rakyat. (ali)