Sebelum upacara digelar, kepala desa akan mengadakan rempugan atau musyawarah bersama para tokoh masyarakat. Mereka akan menentukan hari pelaksanaan, sumber dana, dan kebutuhan lainnya. Semua dilakukan secara gotong royong, mencerminkan semangat kolektif masyarakat agraris: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Uniknya lagi, panitia upacara Mapag Sri biasanya dibentuk dari panitia sebelumnya—yaitu panitia upacara Baritan, yang merupakan tradisi tolak bala. Sedangkan jauh sebelum itu, ada pula tradisi Sedekah Bumi. Rangkaian ini menunjukkan betapa siklus hidup petani tak lepas dari harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Warisan Budaya yang Perlu Dijaga
Di tengah arus modernisasi dan industrialisasi pertanian, tradisi seperti Mapag Sri mungkin terdengar “kuno”. Namun sejatinya, nilai-nilai di baliknya sangat relevan: penghormatan pada alam, syukur atas rezeki, dan semangat kebersamaan yang tulus.
Mapag Sri bukan sekadar warisan budaya, tapi juga pengingat — bahwa sebelum hasil dituai, ada doa, harapan, dan kerja keras yang harus dihormati.
Mapag Sri adalah tentang lebih dari sekadar panen. Ia adalah ritual cinta kepada tanah, penghormatan kepada padi, dan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Selama ada sawah yang menguning dan petani yang menanam harapan, selama itu pula Mapag Sri akan tetap hidup.