Cikalpedia
Opini

Memanusiakan Kecerdasan Buatan

Agung Laksana Muda, Mahasiswa UNISA Kuningan

Kecanggihan teknologi terutama kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan gelombang baru dalam peradaban manusia. Dari algoritma media sosial, chatbot pintar, hingga sistem otomatis dalam pelayanan publik semua menunjukkan bahwa kita sedang memasuki era digital yang penuh potensi sekaligus ancaman. Di tengah euforia ini, muncul satu pertanyaan mendasar: Apakah nilai-nilai luhur bangsa, seperti Pancasila, masih relevan dan mampu menjadi penuntun dalam era yang diwarnai oleh logika mesin dan data masif ini?

Menurut data We Are Social tahun 2024, lebih dari 80% pengguna internet Indonesia berinteraksi dengan sistem berbasis AI setiap hari, baik dalam bentuk konten, iklan, maupun rekomendasi algoritma. Ini membuktikan bahwa kita sedang hidup di dalam dunia yang dibentuk oleh logika mesin. Sayangnya, logika ini tak selalu sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal.

Kecerdasan buatan, meskipun bersifat netral secara teknis, tetap mencerminkan nilai-nilai dari pembuatnya. Misalnya, algoritma AI global sering kali tidak mempertimbangkan konteks budaya Indonesia. Konten yang mengandung kekerasan, ujaran kebencian, atau pornografi bisa lolos sensor karena sistem hanya mengikuti pola statistik, bukan nilai etika.

Sila-sila dalam Pancasila dapat dijadikan dasar etika dalam menghadapi fenomena ini yakni Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan bahwa inovasi harus disandarkan pada tanggung jawab moral dan spiritual. Dalam konteks AI, ini berarti setiap pengembang teknologi wajib mempertimbangkan implikasi moral atas ciptaannya.

Kemanusiaan yang adil dan beradab menegaskan bahwa teknologi harus memperlakukan manusia secara adil. Sistem rekrutmen AI yang diskriminatif, misalnya, jelas melanggar prinsip ini.

Persatuan Indonesia mengingatkan bahwa AI seharusnya tidak memperparah polarisasi politik, seperti yang sering terjadi melalui filter bubble di media sosial.

Baca Juga :  Kuningan Susun Peta Risiko Bencana, Waspadai Kawasan Rawan

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan berarti masyarakat harus dilibatkan secara kritis dalam regulasi teknologi, bukan sekadar menjadi konsumen pasif.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengharuskan manfaat teknologi didistribusikan secara merata. Ketimpangan digital di mana kota besar merasakan manfaat AI, tapi desa masih ketinggalan internet adalah ironi yang harus segera diatasi.

Sebagai mahasiswa, saya melihat banyak teman yang kagum pada kecanggihan AI, tetapi lupa bahwa di balik layar, ada nilai-nilai yang sedang dipertaruhkan. Kita sering menerima jawaban dari chatbot, mengutip hasil AI, bahkan membuat tugas otomatis namun jarang bertanya: Apakah ini benar? Apakah ini baik?

Dalam diskusi kampus, saya pernah mendengar argumen bahwa teknologi itu netral. Tapi saya tak sepenuhnya setuju. Teknologi memang diciptakan manusia, tapi ketika manusia abai pada etika, maka teknologi bisa menciptakan ketidakadilan baru. Pancasila hadir sebagai penyeimbang, bukan penghambat. Ia menjaga agar logika digital tidak mengabaikan nilai kemanusiaan.

Contoh nyata adalah saat deepfake digunakan untuk menyebarkan hoaks politik. Tanpa filter nilai, kecanggihan ini bisa menghancurkan reputasi seseorang dalam hitungan menit. Di sinilah kita perlu tegas bahwa kecerdasan buatan harus diimbangi dengan kebijaksanaan manusia dan Pancasila bisa jadi pondasinya.

Solusinya bukan menolak AI, tetapi memanusiakannya. Pemerintah dan dunia pendidikan harus mendorong etika digital berbasis Pancasila sebagai kurikulum wajib. Para pengembang juga harus dilatih agar mampu mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam desain teknologi.

Saya percaya, mahasiswa Indonesia tidak hanya bisa menjadi pengguna AI, tetapi juga pencipta AI yang berkarakter. Bayangkan jika kita menciptakan chatbot edukatif yang mengajarkan toleransi, aplikasi yang mendukung ekonomi kerakyatan, atau algoritma yang membantu menjaga lingkungan hidup. Semua itu mungkin, asal kita punya keberanian memadukan teknologi dengan nilai luhur bangsa.

Baca Juga :  Pancasila Harus Jadi Paradigma yang Hidup

Akhir kata, era kecerdasan buatan adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Namun, kecanggihan tidak boleh menjauhkan kita dari jati diri. Pancasila hadir bukan hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk menjawab tantangan masa depan. Sebagai filter nilai, Pancasila bukanlah penghambat inovasi, melainkan kompas yang menjaga agar kemajuan kita tetap manusiawi, adil, dan beradab. Di tangan generasi muda yang sadar dan peduli, Pancasila dan teknologi dapat berjalan berdampingan membentuk masa depan Indonesia yang lebih cerah dan bermartabat.

Ditulis oleh: Agung Laksana Muda, Mahasiswa Universitas Islam Al-Ihya Kuningan

Related posts

Relawan Pusaka Selatan Deklarasi, Siap Menangkan Ridho-Kamdan di Pilkada Kuningan

Cikal

Diterjang Longsor, Dua Jalan Desa di Kuningan Lumpuh!

Cikal

Proton FC Wakili Kuningan di Liga Nasional, Targetkan Prestasi di Seri A

Cikal

Leave a Comment