Cikalpedia
Nasional

Pancasila sebagai Kompas Etika Politik di Indonesia

Nanang Yudiana; Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kuningan

Korupsi yang merajalela di berbagai tingkat pemerintahan menunjukkan lemahnya internalisasi sila pertama dan kedua. Tak sedikit pemimpin yang mengaku religius namun tersandung kasus korupsi besar. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ketuhanan belum menjadi pondasi moral yang kuat dalam bertindak.

Sementara itu, sila ketiga tentang persatuan tampak memudar di tengah polarisasi masyarakat. Media sosial menjadi arena pertempuran opini yang memecah belah. Ironisnya, banyak elite politik yang justru mengambil keuntungan dari kondisi ini, bukannya meredam.

Sila keempat juga kerap tercederai ketika para wakil rakyat lebih sibuk menjaga citra dan kekuasaan ketimbang mendengarkan aspirasi masyarakat. Proses legislasi sering kali tidak partisipatif dan minim transparansi.

Terakhir, sila kelima terlihat jelas dilanggar saat ketimpangan sosial makin menganga. Program bantuan sosial yang tidak merata, akses pendidikan dan kesehatan yang masih timpang, serta pembangunan yang berat sebelah menjadi bukti kegagalan menghadirkan keadilan sosial.

Contoh Konkret: Politik dalam Cermin Pancasila

Contoh positif dapat ditemukan dalam beberapa kebijakan afirmatif, seperti program Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal. Program ini merupakan manifestasi dari sila kelima yang mengedepankan keadilan sosial. Namun, praktik negatif jauh lebih mendominasi. Kasus Jiwasraya dan ASABRI, misalnya, mencerminkan kegagalan etika publik yang seharusnya dijaga oleh sila pertama dan kedua. Kasus revisi UU KPK yang dilakukan tanpa partisipasi publik menunjukkan minimnya penerapan sila keempat.

Lebih jauh lagi, penggunaan isu agama dan etnis dalam pilkada atau pilpres adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap sila ketiga. Politik tidak boleh digunakan untuk memperuncing identitas, apalagi merusak harmoni sosial.

Akhir kata, Pancasila sebagai kompas etika politik bukanlah utopia. Ia adalah realitas yang bisa dicapai, asalkan ada kesadaran kolektif dari seluruh elemen bangsa, terutama elite politik, untuk menjadikannya pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Untuk itu, beberapa hal perlu dilakukan antara lain, pertama, pendidikan politik berbasis Pancasila. Generasi muda harus dibekali dengan pemahaman kritis tentang etika politik berbasis Pancasila, bukan sekadar hafalan sila. Kedua, Etika Politik sebagai Standar Rekrutmen Partai. Partai politik harus menjadikan nilai Pancasila sebagai kriteria utama dalam memilih calon legislatif maupun eksekutif.

Ketiga, Penguatan Lembaga Etika. Lembaga seperti Mahkamah Etik dan Ombudsman perlu diperkuat peran dan independensinya. Keempat, Transparansi dan Partisipasi Publik. Proses legislasi dan kebijakan publik harus melibatkan masyarakat luas, mencerminkan semangat musyawarah sila keempat. Dan Kelima, Penghargaan bagi Praktik Politik Etis. Perlu ada insentif, baik moral maupun material, bagi pejabat publik yang mempraktikkan nilai Pancasila secara konsisten.

Pancasila bukan sekadar teks dalam pembukaan UUD 1945. Ia adalah roh yang seharusnya menjiwai setiap keputusan politik di negeri ini. Tanpa etika, politik hanya menjadi alat kekuasaan. Namun dengan Pancasila, politik bisa menjadi jalan pengabdian sejati bagi rakyat dan bangsa Indonesia. []

Ditulis oleh: Nanang Yudiana; Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kuningan

Related posts

Servis Mobil di Bengkel Mobil Gineung Motor, Dijamin Memuaskan

Cikal

Pasca Demo, Coretan Vandalisme “13 12” Membekas Di Bundaran Cijoho

Alvaro

Peringati Hari Kusta Sedunia, Pemkab Kuningan Kampanyekan Tiga Zero

Cikal

1 comment

Ceng Pandi 26/05/2025 at 13:12

kompas yang harus dijadikan pedoman, semoga menginspirasi

Reply

Leave a Comment