Lebih lanjut, ia menyarankan tes kejiwaan yang lebih mendalam untuk menggali orientasi dan komitmen para calon terhadap isu-isu penting seperti pelecehan seksual, kekerasan berbasis gender, dan integritas moral.
“Kalau pelaku bermasalah bisa lolos, yang tercoreng bukan hanya individu, tapi lembaga seperti KPU itu sendiri,” ujarnya.
Tak hanya rekrutmen, Sopandi juga mengkritik pola bimbingan teknis (bimtek) berbasis hotel yang dinilai rawan penyalahgunaan. Ia mendorong penggunaan tempat yang lebih inklusif dan terbuka untuk efisiensi anggaran dan pencegahan risiko tindak asusila.
Meski pelaku kini sudah diberhentikan, Sopandi mendesak KPU untuk aktif memberikan perlindungan hukum dan pendampingan kepada korban, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan kelembagaan.
“Jangan biarkan korban berjalan sendiri. KPU harus hadir sebagai ‘orang tua’ yang melindungi anaknya di tengah proses hukum yang sedang berjalan,” tegasnya.
Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan seksual di lingkup penyelenggara Pemilu dan menjadi tamparan keras bagi semua pihak untuk memperbaiki sistem dari hulu hingga hilir.