Episode 1: Di Antara Dua Dunia
Namaku Rani. Aku lahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Adik laki-lakiku, Raka, tiga tahun lebih muda dariku. Saat anak lain sibuk menagih mainan atau merengek ingin pelukan orang tua, aku sudah belajar merelakan.
Aku masih ingat suara pintu rumah yang tertutup keras malam itu. Usia enam tahun tak membuatku bodoh. Aku tahu, itu suara perpisahan. Ayah dan Ibu, dua sosok yang seharusnya mendidikku bersama, justru memilih jalan masing-masing. Ayah pergi duluan, tak lama kemudian Ibu menyusul, masing-masing dengan pasangan baru.
Dan kami, aku dan Raka, tidak dibawa oleh siapa pun. Kami tinggal bersama Nenek, perempuan renta yang tiba-tiba harus menjadi orang tua kembali di usia tuanya.
“Mulai hari ini, kalian sama Nenek ya. Jangan nakal, jangan banyak nanya,” kata Nenek sambil menyuapiku bubur panas. Suaranya tegas, tapi matanya penuh air.
Aku tak bertanya apa-apa. Aku hanya menatap langit-langit kamar tempat kami tidur bertiga, Aku, Raka, dan luka yang belum sempat aku beri nama.
Hari-hari berlalu. Aku tumbuh, tapi hatiku seolah tertahan di usia enam tahun itu, usia ketika aku belajar bahwa cinta bisa kalah oleh ego, bahwa rumah bisa runtuh tanpa suara bom, hanya dengan keputusan dua orang dewasa.
Aku menjadi kakak sekaligus ibu kecil bagi Raka. Mencuci baju, memandikannya, menyuapinya saat Nenek sibuk menjahit baju tetangga demi sesuap nasi.
Tapi yang paling berat adalah ketika malam tiba. Saat semua tertidur, aku menghadap dinding, memeluk diriku sendiri, membisikkan doa yang sama:
“Tuhan, jangan biarkan aku tumbuh dengan hati yang keras. Aku ingin tetap percaya bahwa cinta itu ada.”
Episode 2: Cinta Pertama yang Pergi
Aku remaja, tapi hatiku sudah lebih tua dari usiaku. Hidup bersama Nenek dan Raka membuatku cepat dewasa. Tak ada waktu untuk manja, apalagi mengeluh. Tapi seperti remaja lain, aku juga mengenal rasa deg-degan saat melihat seseorang.
Namanya Fadli. Teman satu SMA, satu kelas, satu arah pulang. Dia tahu aku bukan gadis biasa. Aku tak pernah ikut nongkrong sepulang sekolah. Waktuku hanya untuk pulang, bantu Nenek, urus Raka, lalu belajar. Tapi dia tetap mendekat. Pelan, tanpa memaksa.
“Aku suka kamu, Ran. Kamu beda,” katanya di bawah pohon jambu belakang sekolah.
Hatiku gugup, tapi juga hangat. Fadli bukan laki-laki sempurna, tapi dia membuatku merasa dihargai. Tidak seperti orang-orang yang hanya melihat latar keluargaku.
Hubungan kami tumbuh diam-diam. Cinta sederhana, penuh curi pandang dan pesan singkat. Tapi dunia tidak pernah membiarkan sesuatu indah terlalu lama.
Usia kami baru 18 saat Fadli berkata, “Orangtuaku ingin aku segera menikah. Kalau kamu siap, ayo kita lanjut.”
Aku terdiam. Menikah? Sekarang?
Aku melihat Raka yang masih SMA. Aku melihat Nenek yang mulai sakit-sakitan. Aku melihat masa depanku sendiri yang belum utuh. Aku tahu, aku belum siap jadi istri. Belum saatnya. Aku ingin sekolah lagi, bekerja, membangun pondasi hidupku sendiri.
“Aku belum siap, Fadli,” ucapku jujur.
Dia mengangguk. Lalu pergi. Tidak marah, tidak memaksa. Tapi juga tak pernah kembali.
Beberapa bulan kemudian, aku mendengar dia menikah dengan pilihan keluarganya. Aku hanya menunduk. Bukan karena menyesal, tapi karena harus kuat lagi.
Aku belajar, bahwa mencintai seseorang tidak selalu berarti memiliki. Kadang, cinta adalah tentang melepaskan demi menjaga diri sendiri tetap utuh.
Episode 3: Rumah Tangga yang Tidak Sempurna
Aku menikah di usia yang sudah cukup matang. Tidak lagi terburu-buru, tidak karena tekanan, tapi karena aku yakin. Laki-laki yang kupilih bukan pangeran berkuda, tapi dia datang dengan niat baik dan kesungguhan yang membuatku merasa aman. Namanya Reza.
Awal pernikahan kami seperti kisah di novel-novel sederhana. Reza bekerja sebagai teknisi, aku bantu membuka usaha kecil di rumah. Kami bahu-membahu membangun hidup, dan ketika anak pertama lahir, seorang putra tampan, hati kami mekar.
Lalu lahir anak kedua, seorang putri manis yang menjadi pelengkap. Rumah kami kecil, tapi penuh tawa. Reza bukan suami sempurna, kadang keras kepala, kadang diam terlalu lama saat marah, tapi kami berusaha saling mengisi.
Namun, hidup tak selamanya berpihak. Pekerjaan Reza mulai tidak menentu. Usaha kecilku tidak cukup menopang kebutuhan keluarga. Cicilan rumah menumpuk, anak-anak mulai sekolah, biaya makin besar. Reza murung, lalu jadi mudah tersinggung. Sering kali kami bertengkar karena hal-hal sepele yang dipicu oleh kelelahan dan tekanan.
“Kenapa kamu gak bantu lebih banyak?!” serunya suatu malam.
“Aku juga capek, Za. Aku juga mikirin semuanya,” jawabku dengan suara bergetar.
Kadang aku ingin menyerah. Tapi setiap melihat anak-anakku tertidur lelap, aku kembali menguatkan diri. Mereka tidak minta dilahirkan. Mereka berhak punya rumah utuh. Aku tahu rasanya tumbuh tanpa pelukan orang tua. Aku tak ingin anak-anakku merasakannya.
Kami terus berjuang, meski dengan sisa tenaga. Kami pernah hampir menyerah, tapi selalu ada sesuatu yang menarik kami kembali—entah karena cinta, atau karena tanggung jawab, atau mungkin keduanya.
Rumah tangga kami tidak sempurna. Tapi kami bertahan. Karena cinta sejati bukan tentang bahagia terus-menerus, tapi tentang memilih untuk tetap tinggal saat badai datang.
Episode 4: Kepergian di Tengah Pandemi
Tahun ke-21 pernikahan kami datang tanpa pesta, tanpa kue, tanpa peluk hangat. Dunia sedang sekarat. Pandemi menjelma jadi teror yang menyelimuti udara, jalanan, bahkan hati manusia. Banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak yang kehilangan arah. Tapi aku tak pernah menyangka… aku akan kehilangan Reza.
Semula hanya batuk ringan. Lalu demam. Aku pikir hanya kelelahan biasa. Tapi hari-hari berlalu, dan tubuh Reza makin lemah. Kami bawa dia ke rumah sakit dengan segala prosedur ketat—masker, surat, antrean panjang. Tapi keterlambatan adalah musuh diam-diam yang tak bisa dihapuskan.
“Aku cuma capek, nanti juga sembuh,” katanya dengan senyum tipis dari balik masker.
Itu kalimat terakhir yang kudengar langsung darinya.
Setelah itu, segalanya berubah menjadi layar ponsel. Suster yang memberi kabar. Dokter yang berbicara dengan bahasa dingin. Dan akhirnya… pesan singkat yang membuatku berlutut di lantai kamar:
“Ibu Rani, mohon maaf. Suami ibu tidak tertolong.”
Waktu berhenti. Napasku tercekat. Aku ingin berteriak, tapi rumah sudah terlalu penuh kesunyian.
Anak-anak memelukku tanpa tahu harus berkata apa. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami sepenuhnya arti kehilangan seorang ayah—tapi aku tahu, luka itu akan tumbuh bersama mereka.
Aku berdiri di pemakaman, sendirian. Tak ada kerumunan pelayat, tak ada peluk simpati. Pandemi melarang segalanya. Hanya doa yang kupanjatkan, sambil menatap gundukan tanah basah tempat suamiku kini terbaring diam.
“Terima kasih sudah menemani sampai sejauh ini. Aku akan teruskan perjuangan kita, walau tanpamu.”
Hari itu, aku tidak hanya kehilangan Reza. Aku kehilangan separuh dari hidupku, dari jiwaku. Tapi aku tahu, aku tak bisa hancur. Karena masih ada dua jiwa kecil yang bergantung padaku. Dan karena aku pernah berjanji—pada diriku sendiri, pada Tuhan—bahwa aku akan terus berdiri.
Episode 5: Janda Tak Selalu Lemah
Hari-hari setelah kepergian Reza adalah ruang hampa yang harus kupenuhi sendiri. Tak ada lagi yang menyambutku di depan pintu dengan lelah dan senyum, tak ada lagi yang kugoda dengan teh manis dan obrolan sore. Rumah terasa seperti bayangan dari masa lalu yang terus mengejarku.
Tapi dua pasang mata kecil itu, anakku—mereka membangunkanku dari duka.
Aku harus bangkit, meski lututku gemetar. Aku harus tersenyum, meski hatiku hancur. Aku harus menjadi ibu dan ayah sekaligus, menjadi penopang satu-satunya di rumah yang sudah kehilangan tiangnya.
Namun dunia tak ramah pada perempuan sendiri.
Statusku berubah menjadi “janda.” Kata yang terdengar seperti cap, bukan keadaan. Ada tatapan iba, ada bisik-bisik belakang, ada penilaian yang datang dari mulut yang tak tahu apa-apa.
“Janda tuh harus hati-hati ya…”
“Masih muda, anak dua, nanti ada yang godain…”
“Jangan terlalu aktif di luar, bisa bikin omongan…”
Aku tersenyum, tapi dalam hati aku ingin berteriak:
“Aku janda bukan karena pilihan. Aku janda karena kehilangan.”
Tapi aku tidak punya waktu untuk melawan semua omongan itu. Aku punya dua anak yang butuh makan, sekolah, perhatian. Maka aku mulai lagi dari awal. Menjahit. Menjual makanan online. Kadang menyetrika baju tetangga diam-diam. Apa saja yang halal, kulakukan.
Malam hari, saat anak-anak sudah tidur, aku menangis pelan-pelan. Bukan karena lemah. Tapi karena hanya itu satu-satunya waktu aku bisa jujur pada diri sendiri—bahwa aku juga manusia biasa.
Aku bukan perempuan yang sempurna. Tapi aku belajar menjadi kuat dari kehancuran.
Dan hari ini, jika ada yang menatapku dan berkata, “Kasihan, janda,” aku akan menatap balik dan berkata dalam hati:
“Aku memang janda. Tapi aku bukan perempuan lemah. Aku adalah rumah yang tetap berdiri meski pernah dihantam badai.”
Episode 6: Untuk Anakku, Warisan Terbaik adalah Keteguhan Ibumu
Aku sering terjaga tengah malam, bukan karena mimpi buruk, tapi karena terlalu banyak hal yang harus kupikirkan. Uang sekolah, biaya listrik, kebutuhan harian, dan yang terberat: bagaimana mendidik anak-anak tanpa figur ayah di rumah.
Anakku yang laki-laki kini beranjak remaja. Ia mulai sering diam, mulai menyimpan pikirannya sendiri. Kadang aku ingin bertanya lebih dalam, tapi aku tahu… dia juga sedang belajar menjadi laki-laki, dengan cara yang tak bisa kupandu sepenuhnya.
Sementara adikku yang perempuan tumbuh dengan mata tajam dan hati yang peka. Ia sering menatapku lama saat aku memasak atau mencuci. Kadang ia bertanya, “Bu, mama capek ya?”
Aku hanya tersenyum. Karena aku tahu, kalau aku jujur, dia akan ikut sedih.
Aku ingin mereka tumbuh tanpa merasa kekurangan cinta. Aku ingin mereka tahu bahwa kehilangan tak harus berarti kehancuran.
Di malam-malam sepi, aku menulis surat di buku harian yang kelak mungkin akan mereka baca:
“Nak, kamu mungkin tidak lahir dalam keluarga yang sempurna. Tapi kamu lahir dari cinta dan perjuangan. Maafkan jika ibumu kadang terlihat terlalu kuat padahal sedang menahan air mata. Tapi percayalah, semua ini kulakukan agar kamu tidak pernah merasa sendiri.”
Anakku, warisan terbaik yang akan kuberikan padamu bukanlah rumah besar atau tabungan penuh. Tapi keteguhan, keberanian, dan pelajaran bahwa hidup bisa terus berjalan… bahkan saat kita kehilangan segalanya.
Aku ingin kamu tahu, kamu lah alasan aku tetap bangkit. Kamu adalah alasanku tidak menyerah. Dan kelak, jika kamu jatuh, kamu tahu caranya berdiri—karena kamu pernah melihat ibumu melakukannya.
Episode 7: Melangkah Lagi, Bukan Karena Lupa — Tapi Karena Sudah Siap
Tahun-tahun berlalu. Anak-anakku tumbuh. Mereka mulai mandiri, mulai punya dunia sendiri. Kadang aku hanya mengamati dari jauh—senyum mereka, tawa mereka, dan langkah-langkah kecil yang perlahan menjadi besar.
Dan aku? Aku mulai merasa sepi. Bukan karena kesendirian, tapi karena mulai ada ruang kosong dalam hati yang tak lagi bisa kuisi hanya dengan kesibukan.
Suatu hari, seorang teman lama mengajakku ngopi. Obrolan biasa, ringan, dan penuh tawa. Tapi setelah pertemuan itu, ada suara dalam diriku yang lama tidak kudengar:
“Kamu boleh bahagia lagi, kalau kamu siap.”
Aku sempat marah pada suara itu. Bukankah aku masih istri dari seseorang yang kini sudah tiada? Bukankah membuka hati adalah bentuk pengkhianatan?
Tapi malam demi malam berlalu, dan aku mulai paham. Melangkah lagi bukan berarti melupakan. Bukan berarti menghapus kenangan. Tapi memberi izin pada diriku sendiri untuk hidup sepenuhnya.
Aku pernah jatuh. Pernah ditinggal. Pernah hancur. Tapi aku juga pernah mencintai dengan utuh, pernah berjuang sampai berdarah, pernah berdiri saat semua orang mengira aku akan tumbang.
Kini, jika ada tawa yang datang, aku tidak akan menolaknya. Jika ada harapan baru yang mengetuk pintu, aku akan melihatnya dengan hati yang jujur. Aku tidak sedang mencari pengganti. Tidak ada yang bisa menggantikan Reza.
Tapi aku perempuan. Aku juga manusia. Aku berhak merasa dicintai lagi. Disentuh jiwanya. Disambut senyumnya. Dihormati langkahnya.
Dan jika kelak cinta datang lagi, aku tak akan menunduk malu.
Aku akan menyambutnya…
Bukan karena aku lupa, tapi karena aku sudah siap.
Episode 8 : Penutup
Jika hari ini aku duduk di depan cermin dan menatap perempuan di dalamnya, aku tidak hanya melihat wajah yang mulai dipenuhi garis-garis waktu. Aku melihat seluruh cerita hidup yang pernah kulalui—dan betapa aku masih ada di sini.
Aku adalah anak kecil yang dulu ditinggal di persimpangan perpisahan. Aku adalah remaja yang belajar menelan kecewa tanpa dendam. Aku adalah istri yang bertahan dalam gelombang pernikahan. Aku adalah janda yang kehilangan, tapi menolak dikasihani. Aku adalah ibu yang menjadi dua peran, demi dua anak yang kupilih untuk kucintai melebihi diriku sendiri.
Dan kini, aku adalah perempuan yang tetap berdiri.
Hidup tidak pernah memberiku jaminan bahagia. Tapi ia memberiku pelajaran—tentang keteguhan, tentang pengorbanan, tentang makna cinta yang sesungguhnya. Aku pernah merasa hancur, tapi tidak pernah sepenuhnya kalah.
Aku tidak tahu bagaimana bab selanjutnya. Apakah aku akan hidup dalam kesendirian, atau bertemu seseorang yang akan menggenggam tanganku lagi. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak takut.
Karena aku sudah melewati badai, dan aku tahu cara menari di tengah hujan.
Untuk perempuan yang membaca ini—yang mungkin pernah merasa rapuh, pernah dicemooh, pernah ditinggal, atau sedang berdiri di tepi kehilangan—dengarkan ini baik-baik:
Kamu mungkin jatuh, tapi kamu tidak akan hancur jika kamu memilih untuk berdiri.
Seperti aku.
Perempuan biasa, yang memilih untuk menjadi luar biasa… hanya karena satu alasan:
Aku tidak menyerah.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri (Dari Cerita Seorang Sahabat)
