Cikalpedia
”site’s ”site’s
Cerpen

Perempuan yang Tetap Berdiri

Hari-hari setelah kepergian Reza adalah ruang hampa yang harus kupenuhi sendiri. Tak ada lagi yang menyambutku di depan pintu dengan lelah dan senyum, tak ada lagi yang kugoda dengan teh manis dan obrolan sore. Rumah terasa seperti bayangan dari masa lalu yang terus mengejarku.

Tapi dua pasang mata kecil itu, anakku—mereka membangunkanku dari duka.

Aku harus bangkit, meski lututku gemetar. Aku harus tersenyum, meski hatiku hancur. Aku harus menjadi ibu dan ayah sekaligus, menjadi penopang satu-satunya di rumah yang sudah kehilangan tiangnya.

Namun dunia tak ramah pada perempuan sendiri.

Statusku berubah menjadi “janda.” Kata yang terdengar seperti cap, bukan keadaan. Ada tatapan iba, ada bisik-bisik belakang, ada penilaian yang datang dari mulut yang tak tahu apa-apa.

“Janda tuh harus hati-hati ya…”

“Masih muda, anak dua, nanti ada yang godain…”

“Jangan terlalu aktif di luar, bisa bikin omongan…”

Aku tersenyum, tapi dalam hati aku ingin berteriak:
“Aku janda bukan karena pilihan. Aku janda karena kehilangan.”

Tapi aku tidak punya waktu untuk melawan semua omongan itu. Aku punya dua anak yang butuh makan, sekolah, perhatian. Maka aku mulai lagi dari awal. Menjahit. Menjual makanan online. Kadang menyetrika baju tetangga diam-diam. Apa saja yang halal, kulakukan.

Malam hari, saat anak-anak sudah tidur, aku menangis pelan-pelan. Bukan karena lemah. Tapi karena hanya itu satu-satunya waktu aku bisa jujur pada diri sendiri—bahwa aku juga manusia biasa.

Aku bukan perempuan yang sempurna. Tapi aku belajar menjadi kuat dari kehancuran.

Dan hari ini, jika ada yang menatapku dan berkata, “Kasihan, janda,” aku akan menatap balik dan berkata dalam hati:

Baca Juga :  Opik Nahkodai PABSI Kuningan, Target Bidik Emas Nasional

“Aku memang janda. Tapi aku bukan perempuan lemah. Aku adalah rumah yang tetap berdiri meski pernah dihantam badai.”

Episode 6: Untuk Anakku, Warisan Terbaik adalah Keteguhan Ibumu

Aku sering terjaga tengah malam, bukan karena mimpi buruk, tapi karena terlalu banyak hal yang harus kupikirkan. Uang sekolah, biaya listrik, kebutuhan harian, dan yang terberat: bagaimana mendidik anak-anak tanpa figur ayah di rumah.

Anakku yang laki-laki kini beranjak remaja. Ia mulai sering diam, mulai menyimpan pikirannya sendiri. Kadang aku ingin bertanya lebih dalam, tapi aku tahu… dia juga sedang belajar menjadi laki-laki, dengan cara yang tak bisa kupandu sepenuhnya.

Sementara adikku yang perempuan tumbuh dengan mata tajam dan hati yang peka. Ia sering menatapku lama saat aku memasak atau mencuci. Kadang ia bertanya, “Bu, mama capek ya?”
Aku hanya tersenyum. Karena aku tahu, kalau aku jujur, dia akan ikut sedih.

Aku ingin mereka tumbuh tanpa merasa kekurangan cinta. Aku ingin mereka tahu bahwa kehilangan tak harus berarti kehancuran.

Di malam-malam sepi, aku menulis surat di buku harian yang kelak mungkin akan mereka baca:

“Nak, kamu mungkin tidak lahir dalam keluarga yang sempurna. Tapi kamu lahir dari cinta dan perjuangan. Maafkan jika ibumu kadang terlihat terlalu kuat padahal sedang menahan air mata. Tapi percayalah, semua ini kulakukan agar kamu tidak pernah merasa sendiri.”

Anakku, warisan terbaik yang akan kuberikan padamu bukanlah rumah besar atau tabungan penuh. Tapi keteguhan, keberanian, dan pelajaran bahwa hidup bisa terus berjalan… bahkan saat kita kehilangan segalanya.

Aku ingin kamu tahu, kamu lah alasan aku tetap bangkit. Kamu adalah alasanku tidak menyerah. Dan kelak, jika kamu jatuh, kamu tahu caranya berdiri—karena kamu pernah melihat ibumu melakukannya.

Baca Juga :  Usai Petisi dan 1.000 Lilin, Siang Ini Masa Geruduk Kejari

Episode 7: Melangkah Lagi, Bukan Karena Lupa — Tapi Karena Sudah Siap

Tahun-tahun berlalu. Anak-anakku tumbuh. Mereka mulai mandiri, mulai punya dunia sendiri. Kadang aku hanya mengamati dari jauh—senyum mereka, tawa mereka, dan langkah-langkah kecil yang perlahan menjadi besar.

Dan aku? Aku mulai merasa sepi. Bukan karena kesendirian, tapi karena mulai ada ruang kosong dalam hati yang tak lagi bisa kuisi hanya dengan kesibukan.

Suatu hari, seorang teman lama mengajakku ngopi. Obrolan biasa, ringan, dan penuh tawa. Tapi setelah pertemuan itu, ada suara dalam diriku yang lama tidak kudengar:
“Kamu boleh bahagia lagi, kalau kamu siap.”

Aku sempat marah pada suara itu. Bukankah aku masih istri dari seseorang yang kini sudah tiada? Bukankah membuka hati adalah bentuk pengkhianatan?

Tapi malam demi malam berlalu, dan aku mulai paham. Melangkah lagi bukan berarti melupakan. Bukan berarti menghapus kenangan. Tapi memberi izin pada diriku sendiri untuk hidup sepenuhnya.

Aku pernah jatuh. Pernah ditinggal. Pernah hancur. Tapi aku juga pernah mencintai dengan utuh, pernah berjuang sampai berdarah, pernah berdiri saat semua orang mengira aku akan tumbang.

Kini, jika ada tawa yang datang, aku tidak akan menolaknya. Jika ada harapan baru yang mengetuk pintu, aku akan melihatnya dengan hati yang jujur. Aku tidak sedang mencari pengganti. Tidak ada yang bisa menggantikan Reza.

Tapi aku perempuan. Aku juga manusia. Aku berhak merasa dicintai lagi. Disentuh jiwanya. Disambut senyumnya. Dihormati langkahnya.

Dan jika kelak cinta datang lagi, aku tak akan menunduk malu.

Aku akan menyambutnya…
Bukan karena aku lupa, tapi karena aku sudah siap.

Episode 8 : Penutup

Jika hari ini aku duduk di depan cermin dan menatap perempuan di dalamnya, aku tidak hanya melihat wajah yang mulai dipenuhi garis-garis waktu. Aku melihat seluruh cerita hidup yang pernah kulalui—dan betapa aku masih ada di sini.

Baca Juga :  DKC Pramuka Siapkan Kemah Akbar di Subang, Siap-siap Gabung

Aku adalah anak kecil yang dulu ditinggal di persimpangan perpisahan. Aku adalah remaja yang belajar menelan kecewa tanpa dendam. Aku adalah istri yang bertahan dalam gelombang pernikahan. Aku adalah janda yang kehilangan, tapi menolak dikasihani. Aku adalah ibu yang menjadi dua peran, demi dua anak yang kupilih untuk kucintai melebihi diriku sendiri.

Dan kini, aku adalah perempuan yang tetap berdiri.

Hidup tidak pernah memberiku jaminan bahagia. Tapi ia memberiku pelajaran—tentang keteguhan, tentang pengorbanan, tentang makna cinta yang sesungguhnya. Aku pernah merasa hancur, tapi tidak pernah sepenuhnya kalah.

Aku tidak tahu bagaimana bab selanjutnya. Apakah aku akan hidup dalam kesendirian, atau bertemu seseorang yang akan menggenggam tanganku lagi. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak takut.

Karena aku sudah melewati badai, dan aku tahu cara menari di tengah hujan.

Untuk perempuan yang membaca ini—yang mungkin pernah merasa rapuh, pernah dicemooh, pernah ditinggal, atau sedang berdiri di tepi kehilangan—dengarkan ini baik-baik:

Kamu mungkin jatuh, tapi kamu tidak akan hancur jika kamu memilih untuk berdiri.

Seperti aku.
Perempuan biasa, yang memilih untuk menjadi luar biasa… hanya karena satu alasan:
Aku tidak menyerah.

Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri (Dari Cerita Seorang Sahabat)

Related posts

UMKM Kuningan Belum Tersentuh Program MBG

Alvaro

Rudi Demokrat Klaim Lolos ke DPRD Kuningan

Cikal

ODGJ Bukan Aib, Bupati Dian Pastikan Layanan Kesehatan Jiwa Diperkuat

Alvaro

Leave a Comment