Cikalpedia
Opini

PMII-HMI: Tumbuh Bersama, Bukan Terpisah

Novi Tri Mulyanti

Tulisan reflektif Kanda Fahruz, “Tumbuh dari Bawah”: Membaca Ulang Polemik HMI-PMII adalah undangan yang lembut namun tegas untuk membaca ulang relasi simbolik antara HMI dan PMII, sekaligus mengingatkan kita semua akan pentingnya adab dalam berbahasa—terlebih di ruang publik.

Saya membaca tulisan ini bukan sekadar sebagai telaah linguistik, melainkan sebagai cermin: cermin yang mengajak kami, kader PMII, untuk merenungi kembali bagaimana narasi dibangun, dipahami, dan ditafsirkan dalam ruang sosial kita yang semakin rentan terhadap polarisasi.

Sebagai kader PMII, saya ingin menyampaikan terima kasih yang tulus atas perspektif yang Kanda berikan—penuh empati, tajam, namun tetap dalam bingkai persaudaraan. Dan lebih dari itu, izinkan saya atas nama pribadi dan sebagai bagian dari rumah besar PMII menyampaikan permohonan maaf yang sebenar-benarnya dan setulus-tulusnya jika guyonan yang dilontarkan oleh senior kami, Cak Imin, menyinggung saudara-saudari kami di HMI.

Kami menyadari bahwa pernyataan tersebut tidak mewakili PMII secara keseluruhan. Candaan yang bernuansa eksklusivitas itu, bagaimana pun niatnya, telah menyulut percakapan publik yang rawan disalahpahami, dan bahkan bisa menodai semangat persaudaraan yang telah dirawat oleh generasi-generasi sebelumnya.

Krisis Komunikasi Publik: Simptom yang Lebih Dalam

Polemik ini bukan kasus tunggal. Ia hanyalah salah satu episode dari rangkaian panjang krisis komunikasi publik yang kini melanda ruang demokrasi kita. Lihatlah bagaimana Fadli Zon, yang kini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, menyatakan bahwa tidak ada perkosaan massal pada tahun 1998. Pernyataan ini tidak hanya abai terhadap sensitivitas sejarah, tapi juga menyayat luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

Alih-alih merawat ingatan kolektif bangsa, ia justru membuka kembali borok dengan narasi yang dingin dan defensif. Saya sebagai perempuan yang lahir dari rahim perempuan merasa sangat kecewa, marah, terganggu, risih, jengkel dan entah diksi apalagi yang bisa mewakili ekspresi mendengar pernyataan “sakit” seperti itu.

Baca Juga :  Pancasila Renta, Diimani Tak Diamalkan

Atau lihat bagaimana Kepala Pusat Komunikasi Presiden menyikapi ancaman terhadap jurnalis bertajuk teror Kepala Babi dengan tindakan menyuruh redaksi Tempo “memasak babi”. Di negeri yang plural namun rentan, candaan seperti ini bukan hanya sangat sensitif, tetapi berbahaya. Ia menyamarkan represi dengan humor, menjadikan satir sebagai senjata untuk membungkam, bukan membangun.

Kasus-kasus ini, termasuk polemik “tumbuh dari bawah”, menunjukkan bahwa komunikasi publik di Indonesia hari ini kerap kehilangan etika, empati, dan kerendahan hati. Bahwa kita sedang mengalami krisis bukan karena kurangnya kata, melainkan karena kehilangan rasa.

Membaca Ulang Candaan: Antara Identitas dan Kematangan

Guyonan Cak Imin, dalam tradisi pesantren sekalipun, seharusnya tidak kehilangan kepekaan terhadap sejarah dan dinamika gerakan mahasiswa Islam. Sebab guyonan, bila ia tak diberi konteks dan kehati-hatian, dapat berubah menjadi stereotip. Dan ketika stereotip dilegalkan oleh tokoh publik, ia bukan lagi sekadar candaan: ia menjadi framing.

Namun sebagaimana yang Kanda Fahruz tekankan, bahasa adalah pedang bermata dua. Kami percaya bahwa semangat dari pernyataan itu adalah cinta kepada rumah sendiri. Tapi cinta tidak harus selalu ditunjukkan dengan mengkerdilkan rumah orang lain. Karena dalam ukhuwah, kita diajarkan untuk membela saudara kita bukan hanya saat mereka benar, tetapi juga menegur mereka dengan kasih saat mereka keliru.

Kami Siap Melanjutkan Perjuangan Bersama

Atas nama PMII, kami berkomitmen untuk terus bertumbuh bersama bukan hanya dari bawah, tapi juga ke segala arah: ke dalam untuk refleksi, ke luar untuk aksi, dan ke atas untuk visi. Kami tidak ingin terjebak dalam retorika identitas yang mengerdilkan. Kami ingin menjadi bagian dari solusi atas tantangan zaman: krisis iklim, ketimpangan sosial, intoleransi, dan disinformasi.

Baca Juga :  Meritokrasi bukan Topeng, Tetapi Sistem untuk Kebaikan Publik

Dan dalam perjuangan itu, kami tidak bisa berjalan sendiri. PMII dan HMI bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua sayap dari burung yang sama: burung muda Islam yang ingin terbang tinggi di langit kebangsaan. Sejarah telah membuktikan bahwa kolaborasi kita lebih bermakna daripada kompetisi kita.

Dari Mana Kita Tumbuh, Menuju Ke Mana Kita Bergerak

Kami menerima kritik, kami mendengar, dan kami belajar. Kami tidak malu mengakui kekeliruan, karena kami percaya bahwa kematangan organisasi ditentukan bukan oleh kesempurnaan, tetapi oleh keberanian untuk tumbuh.

Maka sekali lagi, dengan segala kerendahan hati: Kami berterima kasih atas ruang dialog ini. Dan kami siap melanjutkan perjuangan bersama. Karena kami percaya, seperti yang dikatakan oleh Cak Nur dan Mahbub Junaidi, “Kita boleh berbeda cara, asal tidak berbeda tujuan.”

Sebagai penutup, Saya ingin menyampaikan satu hal bagi semuanya, “Yang tumbuh dari tanah tak perlu mencaci yang tumbuh dari batu, sebab keduanya tetap tunduk pada hujan yang sama dan bersujud pada langit yang satu.”

Penulis: Novi Tri Mulyanti, Kader PMII Cabang Cirebon

Related posts

Asep Papay Diminta Memperbaiki Struktur Berpikir tentang Open Bidding, Singgung BKPSDM

Ceng Pandi

Relevansi Pendidikan Islam Imam Al-Ghazali di Era Modern

Ceng Pandi

Jangan Jadikan Dapur Rakyat Ajang Eksperimen Pemerintah

Alvaro

Leave a Comment