KUNINGAN – Ratusan masyarakat dari dalam maupun luar Kabupaten Kuningan tumpah ruah menyaksikan Puncak Upacara adat seren taun 22 rayagung 1957 Saka Sunda yang digelar oleh Yayasan Tri Panca Tunggal Cigugur, Sabtu (29/6).
Seren taun 1957 Saka Sunda telah dimulai sejak sepekan lalu dengan berbagai sajian pertunjukan sarat makna yang menggambarkan wujud rasa syukur atas limpahan berkah dan karunia yang telah diberikan dalam satu tahun, terutama dibidang pertanian.
Puncak Upacara adat seren taun dimulai dengan penampilan tari Jamparing Apsari, memiliki makna sebagai pengetuk hati nurani, pemanah cinta kasih yang diarahkan ke jantung hati. Jamparing berarti busur, dan anak panahnya memiliki istilah berbeda.
Yakni pada satu sisi merupakan senjata yang digunakan untuk membidik dalam konteks berburu dan pada sisi lain memiliki fungsi sebaliknya, yaitu “panah asmara” yang dimaksudkan mengetuk hati nurani manusia.
Alih-alih memanah rasa kesombongan dan amarah, Jamparing Apsari melambangkan panah yang menunjukan rasa welas asih kepada manusia dan Bumi. Apsari sendiri memiliki arti sosok Bidadari.
Dilanjutkan dengan pertunjukan tari Puragabaya Gebang yang memiliki pemahaman akan kesadaran kodrat sebagai manusia. Selepas itu ada tari maung lugay yang bermakna filosofis kelincahan dan keperkasaan harimau dalam menjaga lingkungan. Maung lugay juga bermakna bahwa masyarakat sunda haruslah menjadi “maung” manusia unggul dari berbagai bidang.
Selanjutnya pertunjukan Angklung Kanekes, yang diyakini berasal dari masyarakat Kanekes (Baduy), di daerah Banten. Tradisi Angklung Kanekes biasa dilakukan untuk mengiringi ritual bercocok-tanam padi.
Setelah itu pertunjukan Angklung Buncis. Merupakan pertunjukan angklung khas dari Kecamatan Cigugur. Kesenian ini merupakan kreasi sesepuh adat Pangeran Djatikusumah pada tahun 1969, yang memperoleh inspirasi dari keseharian masyarakat Cigugur.
Pertunjukan Tari Buyung yang terkenal, ditampilkan kemudian, memiliki makna menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala (nyuhun) yang erat hubungannya dengan ungkapan ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’.
Selepas itu terdapar helaran memeron, merupakan pagelaran patung-patung simbolik yang diarak dengan beberapa binatang yang dijadikan simbol seperti burung garuda, harimau, naga, kuda dan ikan dewa. Setiap binatang yang dijadikan memeron memiliki makna-makna tersendiri yang sudah menjadi kepercayaan masyarakat turun-temurun.
Di tutup dengan prosesi Ngajayak, merupakan upacara dimana masyarakat melakukan arak-arakan dari berbagai sudut jalan menuju ke gedung cagar budaya Paseban Tri Panca Tunggal sambil membawa hasil panen berupa padi, biji-bijian, buah-buahan dan hasil pertanian lainnya.