Cikalpedia
Cerpen

Retak Dalam Rumah

Raka tak menjawab. Tapi matanya mengintip sedikit dari balik selimut.

“Ayah minta maaf ya, Nak… Ayah belum bisa jadi ayah yang kamu banggakan.”

Kata-kata itu pelan. Tapi menancap dalam.

Esok harinya, Ayah sudah tak ada di rumah. Ibu bilang, “Ayah pergi dulu.” Tak dijelaskan ke mana. Tak dijanjikan kapan kembali.

Tapi yang paling menyakitkan dari semua itu bukan kepergian.

Melainkan… diamnya.

Raka mulai menulis. Ia tak tahu harus bicara ke siapa, jadi ia bicara ke buku. Buku itu penuh coretan-coretan:

“Hari ini Ibu pulang malam. Aku makan mi instan lagi. Tapi aku masak sendiri, jadi lumayan bangga.”

“Ayah, aku rindu kamu. Tapi Ibu juga butuh teman ngobrol. Aku capek jadi penghubung.”

Suatu malam, Raka menyelipkan selembar kertas kecil ke bawah pintu kamar Ayah—yang kosong.“Ayah, kalau Ayah pulang… kita main bola ya. Tapi jangan bohong lagi. Aku janji nggak akan marah, asal Ayah bilang yang jujur. Aku nggak butuh Ayah kaya. Aku butuh Ayah pulang.”

Satu minggu kemudian, rumah tetap sunyi. Tapi malam itu, Lita menemukan kertas kecil itu nyelip di balik buku gambar Raka. Ia membacanya berkali-kali, dan untuk pertama kalinya… ia menangis.

Bukan karena marah. Tapi karena malu. Selama ini, mereka bertiga hidup dalam rumah yang sama—tapi sendirian.

Retak Dalam Rumah – Bagian 4: “Surat-Surat yang Tak Pernah Terkirim”

Di sebuah kamar kos kecil di pinggiran kota, Damar duduk di depan laptop pinjaman, membuka tab Excel sederhana. Ia mencatat:
“Desain etalase warung — 250 ribu. Beres Jumat.”
“Edit logo UMKM Bu Sari — 100 ribu.”

Bukan proyek besar. Tapi cukup buat makan.
Cukup buat merasa… berguna lagi.

Sudah tiga minggu ia pergi dari rumah. Tak kabur. Ia pergi untuk sembuh. Itu yang ia tulis dalam surat yang tak pernah ia kirim:

“Aku sadar aku hancur. Tapi aku juga sadar, aku harus bangun sendiri. Bukan buat kamu. Bukan buat balas dendam. Tapi karena aku ingin Raka punya ayah yang utuh.”

Setiap malam, Damar menulis surat—untuk Lita, untuk Raka, untuk dirinya sendiri. Tapi tak satupun ia kirim.

Ia masih takut. Takut ditolak. Takut dianggap pencitraan. Takut dibilang telat berubah.“Aku bukan mau kalian lupakan kesalahanku. Aku cuma mau kalian tahu… aku juga manusia. Yang butuh dihargai, meski tak selalu bisa memberi.”

Sementara itu di rumah, Lita makin sibuk, tapi makin sepi. Raka makin sering diam, menggambar keluarga yang wajah ayahnya hanya berupa siluet.
Senyum di gambar itu samar, tapi kosong.

Lita mulai membaca ulang semua coretan Raka. Ia juga menemukan voice note singkat yang pernah dikirim Damar sebelum pergi, tapi belum pernah ia dengarkan.

Suara Damar lirih:

“Maaf, Lit… Aku tahu kamu marah. Dan kamu berhak. Tapi bolehkah aku minta satu hal? Jangan benci aku di depan Raka. Biar aku saja yang jadi orang jahat, tapi jangan rusak pandangan dia tentang ayahnya. Dia masih butuh gambaran laki-laki yang bisa ia tiru. Meski bukan dari aku.”

Lita menutup mata. Tangisnya keluar pelan, seperti air yang akhirnya menemukan retakan.

Malam itu, ia menulis balasan. Satu-satunya surat yang pernah ia tulis untuk Damar sejak menikah:

“Mar, aku mungkin terlalu kasar. Tapi kamu juga terlalu diam. Kita saling menjauh, bukan karena tak cinta—tapi karena berhenti bicara. Mungkin kamu memang harus pergi kemarin. Tapi sekarang… kalau kamu sudah pulih, dan ingin bicara, pulanglah. Bukan untuk kembali. Tapi untuk menyelesaikan yang tersisa.”

Surat itu pun tak dikirim. Mereka saling rindu, saling marah, saling pedih. Tapi masih terlalu gengsi untuk jujur. Maka mereka menulis, berharap kata-kata bisa menjembatani luka yang sudah tak bisa disampaikan dengan suara.

Di meja belajar Raka, ada catatan baru:

“Ayah di luar rumah, Ibu di dalam rumah. Tapi dua-duanya nggak benar-benar dekat. Aku capek jadi tengah-tengah. Tapi aku belum nyerah. Karena aku masih sayang dua-duanya.”

Retak Dalam Rumah – Bagian 5: “Pulang atau Pisah?”

Pagi itu langit mendung. Angin terasa berat, seperti membawa sesuatu yang akan pecah kapan saja.

Damar berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia tinggali. Tangannya sempat ragu mengetuk. Tapi akhirnya ia berani—bukan karena yakin diterima, tapi karena sadar… ia harus menghadapinya.

Pintu dibuka pelan. Lita berdiri di sana, tanpa makeup, tanpa senyum, tapi juga tanpa amarah.

Mereka saling pandang—bukan sebagai pasangan, tapi sebagai dua manusia yang pernah saling mencintai, lalu saling melukai. “Masuklah,” kata Lita.

Raka duduk di ruang tamu, matanya membesar melihat ayahnya. Tak berlari memeluk, tak marah pula. Ia hanya berkata, “Ayah… pulang?”

Damar mengangguk. “Ayah mau ngobrol. Bukan tinggal. Cuma… mau jujur.”

Mereka duduk bertiga. Untuk pertama kalinya tanpa teriakan. Tanpa saling menyalahkan. Hanya keheningan yang memberi ruang untuk bicara.

Damar membuka pembicaraan.

“Aku minta maaf. Bukan cuma karena aku berjudi, atau karena gagal kerja. Tapi karena aku nggak pernah cerita. Aku takut kamu kecewa, Lit. Tapi aku sadar, diamku justru menghancurkan semuanya.”

Lita menatapnya. “Aku juga salah, Mar. Aku bangga kerja keras, tapi lupa menjaga perasaanmu. Aku merasa lebih… dan mempermalukanmu.” Mereka terdiam. Tapi diam yang hangat, bukan dingin.

“Ayah mau kembali?” tanya Raka.

Damar menarik napas panjang. “Kalau Ibu izinkan, Ayah ingin tetap jadi bagian dari hidup kalian. Tapi mungkin tidak di rumah ini. Aku masih perlu waktu… dan kamu berdua juga.”

Lita menggenggam tangan Raka.

“Ayah dan Ibu mungkin tidak bisa seperti dulu. Tapi kita bisa tetap jadi keluarga, dengan cara yang lebih jujur. Tanpa pura-pura bahagia, tanpa saling menyakiti.”

Raka tersenyum kecil. Ia berdiri, mengambil gambar yang ia buat minggu lalu. Gambar tiga orang—ayah, ibu, dan anak—berdiri berjauhan, tapi masih saling melihat. “Aku nggak butuh kalian selalu bareng. Aku cuma butuh kalian tetap baik.”

Hari itu, Damar pamit. Ia tidak kembali sebagai suami. Tapi ia kembali sebagai ayah yang mau belajar memperbaiki. Lita tidak menangis. Tapi ia menutup pintu dengan hati yang tak lagi marah—hanya pasrah, dan perlahan pulih.

Dan Raka? Ia menuliskan satu kalimat di bukunya malam itu:

“Kadang orang dewasa memang harus pisah untuk bisa damai. Tapi aku bersyukur mereka masih mau bicara. Karena dari bicara… luka bisa mulai sembuh.”

Tamat

Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri

Related posts

Bawaslu Kuningan Warning ASN: Jangan Main Api Pilkada!

Cikal

Pendatang Baru PKB Tembus DPRD Kuningan, Klaim 4.768 Suara

Cikal

Jangan Lewatkan, Kajene Runiverse Siap Warnai Malam Akhir Pekan di Kuningan

Alvaro

Leave a Comment