Di sebuah rumah sederhana di kaki bukit, tinggal seorang pria tua bernama Pak Raji. Hidupnya bersahaja, sehari-hari hanya berkebun dan sesekali pergi ke warung kopi untuk mengobrol dengan warga sekitar.
Setiap pagi, sebelum matahari naik sepenuhnya, ia selalu mengenakan sepasang sandal cokelat yang sudah lusuh. Sandal itu sudah menemaninya lebih dari lima tahun, dipakai di tanah kering, jalan berbatu, bahkan saat hujan turun dan halaman becek. Sandal itu, yang oleh Pak Raji diberi nama Sandi, seperti sahabat lama yang tak pernah mengeluh.
Namun, siapa sangka bahwa Sandi menyimpan perasaan yang selama ini dipendam dalam diam?
“Kenapa aku selalu diinjak?” gumam Sandi lirih suatu malam, saat hujan deras mengguyur atap seng. Ia berbicara pada angin dan pada satu-satunya teman yang bisa diajak bicara—Sepatu Kulit yang tinggal di rak atas, jarang dipakai.
Sepatu Kulit hanya tersenyum, bijak seperti biasa. “Itulah takdirmu, Sandi. Dirimu dibuat untuk menjadi alas. Dipijak bukan berarti dihina. Justru di sanalah letak jasamu.”
“Tidak adil,” balas Sandi. “Aku ingin dihormati. Aku ingin manusia tahu bahwa aku juga punya harga diri.”
Sandi merasa dirinya pantas mendapatkan lebih. Ia lelah menjadi benda yang selalu diinjak, kotor, basah, dan dilupakan. Dalam kesedihan, ia memohon kepada semesta: agar ia dihargai, agar tak ada lagi yang menginjak dirinya.
Dan seperti ada kekuatan gaib yang mendengar jerit hatinya, keesokan pagi—segalanya berubah.
Pak Raji bangun pagi seperti biasa. Ia bersiap pergi ke warung. Tapi ketika ia hendak memakai Sandi, langkahnya terhenti. Entah mengapa, ia merasa enggan menyentuh sandal itu. Ia berjalan keluar rumah tanpa alas kaki, padahal jalanan masih lembap sisa hujan semalam.
Sandi terkejut. Tapi dalam hati, ia bersorak, “Ini dia yang kuinginkan! Tak ada lagi yang menginjakku!”
Hari demi hari berlalu. Tak ada yang menyentuh Sandi. Anak-anak yang dulu sering meminjamnya saat hendak beli es pun kini melewatinya begitu saja. Ia tetap bersih, tak terinjak, tak terkena lumpur, tak tergesek aspal.
Namun bersamaan dengan itu, datanglah kesepian.
Sandi kini menganggur. Ia hanya teronggok di pojokan teras, ditemani debu yang perlahan menempel. Tidak ada lagi sapaan kaki. Tidak ada lagi tugas.