Cikalpedia.id – Di kantor itu, semua orang memanggilnya Umi. Entah siapa yang pertama kali memberi julukan, tapi nama itu melekat karena ia selalu menyelipkan nasihat agama dalam setiap kesempatan.
“Jangan lupa salat duha ya, Nak. Rezeki kita mengalir kalau rajin ibadah,” begitu katanya setiap pagi, dengan jilbab panjang menjuntai dan senyum penuh kesalehan.
Di meja kerjanya, buku doa dan mushaf selalu terbuka. Dari jauh tampak seperti perpustakaan kecil yang suci. Namun, di laci bawah, tersimpan tumpukan nota kosong, kwitansi siap tulis, dan cap basah yang tak resmi.
Sebagai bendahara, Umi memang ahli. Ahli menyusun laporan yang rapi, lengkap dengan daftar hadir pegawai fiktif yang tak pernah benar-benar ada. “Bismillah,” gumamnya setiap kali menarik garis tanda tangan palsu, seolah nama-nama itu diberkahi hanya karena disertai doa.
“Umi, ini kok jumlah peserta Bimtek lebih banyak di laporan daripada di foto dokumentasi?” tanya seorang staf muda.
Umi tersenyum teduh, menepuk bahu staf itu.
“Anak muda, jangan kaku. Allah itu Maha Luas Rahmat-Nya. Yang penting niat kita baik, agar dana bisa cair. Kalau tidak begitu, kegiatan sosial kita nanti terhambat.”
Kalimatnya terdengar seperti fatwa. Tak ada yang berani melawan. Semua diam, meski tahu ada kebohongan di balik angka-angka.
Setiap rapat, Umi selalu duduk paling depan, menunduk khusyuk. Saat pimpinan masuk, dialah yang pertama mengucapkan Assalamu’alaikum lantang, lebih keras dari semua. Bahkan tak jarang ia menutup rapat dengan doa panjang, seolah dirinya ustazah.
Namun, di luar doa dan nasihat, ia tak pernah lupa menghitung bagiannya sendiri. Dari setiap nota kosong, selalu ada selisih yang masuk kantong pribadinya.
“Rezeki halal, InsyaAllah,” katanya sambil melipat uang dengan hati-hati.
Orang-orang di kantor lama-lama terbiasa. Ada yang mencibir diam-diam, ada pula yang ikut menikmati “rezeki” dari laporan fiktif itu.
Sampai suatu hari, audit mendadak datang. Tim inspektorat membuka satu per satu dokumen. Nota fotokopi, tanda tangan berbeda gaya, dan daftar hadir dengan nama-nama yang ternyata orang yang sudah pensiun.
Ruangan mendadak hening. Semua menunggu reaksi Umi.
Dengan wajah teduh, ia tetap menutup kepalanya dengan kerudung lebar, lalu berkata lirih, “Ini semua fitnah. Demi Allah, saya hanya ingin menjaga keberkahan kantor ini.”
Tapi di bawah meja, tangannya gemetar, menggenggam tas yang penuh kwitansi asli, bukti dari semua yang selama ini ia bungkus dengan kata-kata manis dan doa panjang.
Dan untuk pertama kalinya, panggilan Umi terdengar seperti ejekan.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi by Bengpri