KUNINGAN – Denting gamelan berpadu dengan riuh tawa tamu undangan memenuhi Gedung El-Zeroun, Mayang Catering, Senin siang (11/8/2025). Di panggung, spanduk bertuliskan “Suci ing Pamrih, Rancage Gawe” membentang lebar. Itulah suasana Hajat Ageung Sawindu Barisan Incu Putu Pangauban Cisanggarung, sebuah perayaan yang meriah sekaligus sarat pesan ekologis dan kultural.
Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si, hadir memberi apresiasi. “Incu-putu Pangauban Cisanggarung ini teladan. Mereka tidak hanya melestarikan budaya Sunda, tapi juga menjaga lingkungan dan menghidupkan kearifan lokal. Di tengah zaman yang kian melupakan tradisi, mereka tetap teguh,” katanya.
Bagi masyarakat Sunda, pangauban bukan sekadar wilayah fisik. Ia adalah “rumah batin” tempat hidup, tumbuh, dan saling menjaga. “Ia pagar yang melindungi bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa. Menjaga lembur bukan sekadar pekerjaan; ini ibadah sosial dan warisan leluhur,” ujar Bupati.
Ia mengutip pepatah, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, lemah cai kudu dijaga (gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, tanah dan air harus dijaga). Pesan yang, menurutnya, kian relevan di tengah krisis ekologi. Aliran Sungai Cisanggarung pun ia sebut sebagai cermin kerendahan hati “Mengalir dari atas ke bawah, mengajarkan manusia untuk handap ashor, tunduk pada alam dan Tuhan.”
Sejak berdiri pada 2009, BIPP menjadi wadah kolektif antar-pangauban yang mempraktikkan Pantajala, pengelolaan wilayah berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS) berkelanjutan. Dian berharap semangat itu mengalir seperti sungai, menembus batas daerah, dan menginspirasi siapa saja yang ingin membangun lingkungan serta budaya secara berkesinambungan. (ali)
