Sebelum saya masuk ke pokok tanggapan atas nasib hasil Open Bidding Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kuningan, saya terlebih dahulu menyampaikan apresiasi yang tulus kepada Kang Dadang Saputra, senior yang telah lama berkontribusi dalam dinamika gerakan di Kabupaten Kuningan.
Sebagai tokoh dari salah satu partai besar, beliau tentu memiliki ruang dan kapasitas dalam membaca peta birokrasi dan politik daerah. Saya menghargai pemikiran beliau dalam merespons kritik saya melalui media, sebagai bagian dari ruang dialog publik yang sehat.
Tetapi, ketika hasil sebuah proses yang sah, terbuka, dan menyedot anggaran publik mencapai setengah miliar rupiah dibiarkan menggantung tanpa kejelasan, maka yang perlu kita tanyakan bukan siapa yang pro atau kontra. Tapi, masih adakah keberanian kita menjaga kehormatan proses?
Open bidding (OB) jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kuningan adalah sebuah bentuk keseriusan birokrasi menegakkan sistem meritokrasi. Proses ini dijalankan oleh Penjabat Bupati sesuai aturan, dilaksanakan oleh panitia seleksi, diawasi, bahkan terbuka untuk publik. Tidak ada pelanggaran prosedur. Artinya, ini bukan sekadar “kegiatan administrasi”, tapi manifestasi dari komitmen terhadap tata kelola yang profesional.
Namun sayangnya, hingga hari ini hasil OB itu tak kunjung ditindaklanjuti. Saya tidak mendengar evaluasi resmi terhadap hasilnya, tidak ada keterbukaan alasan hukum mengapa hasil OB itu harus ditunda, dibatalkan, atau bahkan dilanjutkan.
Sebaliknya, masyarakat justru disuguhi narasi bahwa penundaan ini adalah bentuk kehati-hatian, bahkan dikaitkan dengan kondisi fiskal dan pertimbangan chemistry antara Sekda dan Bupati. Yang menjadi pertanyaannya, apakah kehati-hatian boleh melumpuhkan keputusan? Apakah kedaruratan fiskal membenarkan pengabaian hasil resmi yang sudah melalui mekanisme hukum?
Berpikir Lebih Jernih
Kalau hasil OB yang sah dan dibiayai negara bisa begitu saja digantung tanpa tindak lanjut, maka apa yang sedang dibangun dalam birokrasi ini? Bagaimana publik bisa percaya pada proses serupa di masa depan jika hasilnya tak pernah dihormati?
Logika efisiensi tidak bisa dibangun dengan membiarkan anggara hampir memakan setengah milyar rupiah hangus tanpa manfaat. Kalau memang ada keberatan terhadap proses OB yang cacat secara regulasi dan qaidah-kaidah konstitusi, maka buka datanya. Tetapi jika tidak ada evaluasi objektif dan hasilnya ditangguhkan karena ketidakcocokan pribadi atau alasan di luar kerangka hukum, maka ini bukan efisiensi, ini justru pemborosan yang terselubung.
Saya tidak sedang mempermasalahkan siapa yang menjabat. Saya tidak mengarahkan opini pada konflik antar individu atau kelompok. Tapi saya ingin berdiri di tengah ruang publik untuk menjaga nalar dan kewarasan tata kelola.
Karena bila proses merit bisa dikesampingkan dengan mudah, maka hari ini Sekda, mungkin besok bisa kepala dinas, guru, pengawas, dan lain-lain. Pelan-pelan, publik akan menyimpulkan bahwa sistem tidak lagi berbicara. Yang bicara hanya selera.
Ketika itu terjadi, yang terjadi bukan lagi menyelenggarakan pemerintahan. Tetapi sedang memindahkan kendali sistem ke tangan kehendak individu.
Saya tidak sedang melawan siapa-siapa. Saya sedang melawan ketidakberanian mengambil keputusan atas sesuatu yang sudah sah. Saya sedang mendorong semua pihak, tanpa kecuali, untuk berdiri kembali di rel sistem. Karena satu keputusan yang benar dan adil lebih bernilai daripada seribu alasan yang ditunda-tunda. []
