Uha juga menuding pemerintah daerah inkonsisten dalam menerapkan prinsip efisiensi anggaran yang selama ini dikumandangkan Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar. Di satu sisi berbicara pengetatan anggaran, namun di sisi lain nyaris tiap pekan menggelar acara seremonial yang dianggap mewah dan mubazir.
“Mereka terus foya-foya memakai uang rakyat. Tapi giliran rakyat meminta bantuan, jawabannya selalu anggaran terbatas. Ironi yang menyakitkan,” tambah Uha.
Kritik terhadap peluncuran buku ini juga ramai bergema di media sosial. Warganet menyindir tajam kebijakan yang dinilai tak punya urgensi dan hanya berorientasi pada pencitraan. Banyak yang menyarankan, jika memang ingin menyampaikan capaian 100 hari kerja, pemerintah bisa memanfaatkan media digital yang jauh lebih murah dan menjangkau khalayak lebih luas.
Data dari pemerintah pusat mencatat bahwa Kabupaten Kuningan masih menjadi salah satu wilayah dengan kategori kemiskinan ekstrem. Di tengah kondisi tersebut, publik menuntut kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan dasar warga, bukan narasi-narasi manis dalam bentuk buku mewah.
Masyarakat, lanjut Uha, tidak butuh cerita sukses dalam bentuk cetakan mahal. Yang dibutuhkan adalah pelayanan dasar yang layak, akses pendidikan yang memadai, jalan yang bisa dilalui tanpa membahayakan, serta lapangan pekerjaan yang nyata.
“Kalau benar mau bantu rakyat, hentikan glamorisme birokrasi. Rakyat tak butuh perayaan, tapi bukti dan keberpihakan,” tutup Uha. (red)