Cikalpedia.id – Di lorong sempit kantor dinas yang pengap itu, Pramono duduk di balik meja kerjanya yang tampak lebih rapi dari biasanya. Pagi ini ia sudah menyemprot pewangi ruangan, menyiapkan map warna-warni, dan tentu saja, secangkir kopi panas yang siap disuguhkan, bukan untuk dirinya, tapi untuk tamu istimewa yang sedang ia buru: Kepala BKD yang baru di Kabupaten XYZ.
Mutasi besar-besaran segera digelar. Bupati baru mulai menyusun barisan, dan Pramono tahu, inilah saatnya. Bukan siapa yang pintar yang menang, tapi siapa yang pintar menempel.
Dulu, saat pilkada, Pramono tak terang-terangan masuk timses. Tapi ia tahu caranya menyelam sambil minum air. Di grup WhatsApp ASN, ia cukup netral, tak pernah terlalu vokal.
Tapi malam hari, ia diam-diam mengirimkan laporan, mengirimkan foto-foto kegiatan kampanye calon tertentu, lengkap dengan komentar strategis: “Pak, ibu itu ASN dari dinas X lho, ikut hadir, padahal ada larangan.”
Singkat cerita, Pramono tak berkeringat, tapi namanya masuk ke daftar “yang membantu”.
Kini ia bermain di babak selanjutnya: perebutan jabatan.
Sudah sepekan ini, Pramono rajin membawa “oleh-oleh” ke ruangan Kepala BKD: Durian dari kampung, ikan asin khas Cirebon, dan bahkan lukisan wajah Bupati baru yang ia pesan dari pelukis jalanan.
“Bukan apa-apa, Pak,” katanya dengan senyum merendah, “ini hanya bentuk kecintaan saya pada pimpinan daerah kita yang baru. Beliau itu… luar biasa karismatik, ya, Pak?”
Kepala BKD hanya tersenyum kecil, entah geli atau risih. Tapi Pramono tahu, kesan pertama itu penting. Dan ia tak berhenti di situ.
Ia mulai rajin datang ke acara-acara resmi, berdiri paling depan, mengabadikan setiap langkah Bupati, lalu mempostingnya di media sosial pribadinya dengan caption berbunga:
“Pemimpin yang membawa angin perubahan. Sebuah anugerah untuk Kabupaten tercinta.”