Cikalpedia
Opini

“Tumbuh dari Bawah”: Membaca Ulang Polemik HMI-PMII

Fahrus Zaman Fadhly

Pernyataan Cak Imin menggema seperti dentang gong di tengah gelapnya malam. “Kalau ada yang tak tumbuh dari bawah pasti bukan PMII, itu HMI.” Sederhana dalam susunan kata, namun kompleks dalam lapisan makna. Sebagai seorang pengamat bahasa dan gerakan sosial, saya melihat ini bukan sekadar klaim identitas, melainkan sebuah pertunjukan teater linguistik yang memanggil kita untuk duduk bersama, membaca dengan kepala dingin, dan merajut kembali benang-benang persaudaraan yang mungkin mulai kendur.

Kalimat ini adalah masterpiece strategi framing politik identitas. Perhatikan strukturnya yang simetris namun asimetris: “Tumbuh dari bawah” adalah metafora organik yang menyiratkan kesahajaan, proses alami, dan akar rumput. Dalam teori linguistik kognitif Lakoff & Johnson (1980), metafora semacam ini membangun pemahaman abstrak (kepemimpinan) melalui konsep konkret (tumbuh-tumbuhan).

“Pasti bukan PMII, itu HMI” menggunakan dikotomisasi eksklusif. Menurut Van Dijk (2006), pola “kita vs mereka” seperti ini adalah ciri khas wacana identitas kelompok. Yang menarik, Cak Imin memakai struktur definisi negatif—menjelaskan PMII dengan menyebut apa yang bukan PMII. Ini teknik retoris kuno tapi efektif.

Dalam laboratorium linguistik, pernyataan ini mengkristal menjadi tiga lapisan makna. Lapisan pertama adalah metafora organik “tumbuh dari bawah” yang dengan cerdik membangun citra grassroot. Lapisan kedua adalah dikotomi halus antara “PMII” dan “HMI” yang sebenarnya adalah saudara sekandung dalam Keluarga Besar Generasi Muda Islam (Gemuis). Lapisan ketiga, yang paling halus namun paling penting, adalah seruan untuk pengakuan atas jalan yang berbeda dalam mencapai cita-cita yang sama.

Ketika pisau analisis wacana kita tusukkan lebih dalam, kita menemukan bahwa polemik ini sebenarnya adalah bagian dari ritual kedewasaan organisasi. Setiap gerakan mahasiswa perlu melalui fase “krisis identitas” seperti ini – sebuah momen dimana ia bertanya pada dirinya sendiri: “Siapa aku?” “Dari mana asalku?” “Apa yang membedakanku dengan yang lain?” Proses pencarian jati diri ini, meski kadang terasa pedih, sebenarnya adalah tanda kesehatan organisasi.

Tapi bahasa adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa membangun tembok pemisah; di sisi lain, ia bisa menjadi jembatan penghubung. Pilihan kata “pasti bukan” dalam pernyataan Cak Imin, jika dibaca secara dangkal, bisa menciptakan kesan eksklusivitas. Namun jika kita menyelami lebih dalam, ini sebenarnya adalah bentuk kecintaan seorang anak pada rumahnya, sebuah pengakuan jujur tentang karakter khusus yang ingin dipertahankan.

Sejarah panjang hubungan HMI-PMII ibarat dua sungai yang berasal dari mata air yang sama namun mengalir melalui lembah yang berbeda. HMI, yang lahir lebih dulu pada 1947, membawa tradisi intelektual yang kuat. PMII, yang lahir tahun 1960, menawarkan napas segar gerakan akar rumput. Perbedaan ini seharusnya menjadi kekayaan, bukan sumber perpecahan. Seperti dua sayap burung, keduanya justru saling membutuhkan untuk terbang lebih tinggi.

Gemuis hari ini dihadapkan pada pilihan: apakah akan terjebak dalam debat identitas yang tidak produktif, atau maju bersama menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks. Krisis ekologi, kesenjangan sosial, dan berbagai tantangan internal ummat membutuhkan kolaborasi, bukan kompetisi.

Daripada berdebat siapa yang lebih “asli”, mungkin lebih baik kita bertanya: “Apa kontribusi nyata kita untuk umat dan bangsa?” Bahasa memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Mari kita gunakan kata-kata yang membangun jembatan, bukan tembok.

Related posts

Terplih sebagai Presma Unisa; Sayfullah: Kemerdekaan bukan Gagah-gagahan Mengibarkan Bendera

Ceng Pandi

Teater Sado Gelar FGD Bahas Pengembangan Seni Dan Pemanfaatan Ruang Publik

Cikal

PMII-HMI: Tumbuh Bersama, Bukan Terpisah

Ceng Pandi

Leave a Comment