Pancasila Harus Jadi Ruh Pendidikan Indonesia

Abad 21 memiliki dampak signifikan terhadap dinamika bangsa Indonesia. Beragam persoalan lahir silih berganti akibat dinamika internal maupun eksternal bangsa. Secara internal, dinamika itu muncul dari aktivitas anak bangsa yang sangat memperihatinkan. Tawuran antar pelajar, gangster, pembunuhan, dan banyak lagi. Secara eksternal, dinamika kebangsaan terancam oleh pertarungan global yang tidak menentu. Perang dunia ketiga menjadi bom waktu yang semakin memperkuat atau memperparah dinamika internal berbangsa dan bernegara.

Pemuda sebagai benteng pertahanan bangsa lebih menghawatirkan. Arus global ibarat gelaran karpet merah tetapi tipis sebagaimana gambaran jembatan shirotol mustaqiem. Jika saja tidak terampil dalam menjaga keseimbangan, bisa terjatuh atau terjerumus pada jurang pergaulan bebas, narkoba, atau aktivitas lain yang tidak sejalan dengan karakter bangsa Indonesia. Bahkan saking tipisnya, generasi muda bangsa terninabobokan dalam buaian kenyamanan game online, role playing game, dan sejenisnya, yang perlahan menggiring paradigma berpikir mekanik dan menjadi pollower algoritma media social.

Pergeseran orientasi ini bertolak dari pikiran Al-Ghazali bahwa seorang anak sejatinya meniru orang tua atau guru yang mendidiknya. Hati seorang anak yang bersih dan murni, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih harus terdidik oleh paradigma ideal yeng kebenarannya bukan ditentukan oleh fyp atau system viralisasi, melainkan oleh standar moral yang sejalan dengan nilai-nilai agama dan norma social yang universal.

Kesadaran moral ini harus kembali dihidupkan dan diperkuat melalui keluarga dan lembaga pendidikan. Orang tua dan stakeholder pendidikan harus sadar dan berkomitmen bahwa merekalah yang membentuk hitam putih karakter anak atau generasi penerus bangsa. Bukan membiarkan algoritma media social yang justru membimbingnya. Bukankah kedua orang tualah, baik dalam arti biologis maupun ideologis, yang menurut sabda Nabi menjadi penentu Yahudi, Nasrani atau Majusi setiap anak?