Cikalpedia
Opini

Antara Komentar Pedas dan Pukulan yang Tak Perlu

Sebuah artikel bijak menyikapi fenomena kritikan kasar kusir delman yang dibalas pukulan

Ageng Sutrisno

Pagi ini, aku sedang menikmati secangkir kopi liberika dari Desa Cipasung, Kuningan. Rasanya khas: pekat, sedikit asam, dengan aroma hutan yang menenangkan. Kopi ini mengajarkan kesabaran mulai dari proses panennya yang tidak bisa terburu-buru, hingga rasa yang baru terasa nikmat jika diseruput perlahan.

Di sela-sela tegukan itu, kabar dari jagat maya Kuningan justru menyajikan rasa getir: seorang netizen melontarkan komentar pedas kepada bupati, penuh kata kasar bahkan sampai menggunakan kata “sia” dan “laknat.”

Narasi lengkapnya bisa kita baca dalam transkrip yang tertangkap layar skrinsyut dengan detil seperti ini

“Laknat dian, balap sapeda aya, tradisi leluhur saptonan eweh, pacuan kuda eweh, bupati macam apa kamu dian, te saimbang tacan jadi bupati omongan teh ges jadi bupati, patung kuda di taman kota te di hargaan sia mah dian, bakal ka laknat ku gusti alloh sia mah dian bupati laknat”

Sungguh bernada lebih menjurus kepada ujaran kebencian daripada kritik. Sehingga tak berhenti di situ, loyalis sang bupati pun tak terima dan melampiaskan kemarahan dengan tangan, memukul si pengkritik secara langsung.

Belajar lagi

Kita bisa belajar dari dua peristiwa ini. Pertama, kebebasan berpendapat bukan berarti bebas melempar kata sembarangan. Kritik memang sah, bahkan perlu, tapi tetap harus dibalut dengan etika. Bahasa adalah cermin, dan kata-kata yang keluar bukan sekadar bunyi ia adalah jejak moral kita.

Kedua, membalas kritik dengan kekerasan justru menambah luka. Loyalitas tak boleh berubah menjadi brutalitas. Membela pemimpin tidak harus dengan tinju, justru dengan memberi contoh sikap yang lebih beradab.

Baca Juga :  Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kuningan Digelar 20 Februari 2025

Di era media sosial, jari kita sering lebih cepat daripada hati. Kadang, dalam satu ketukan layar, kata-kata meluncur tanpa filter. Kasus terbaru di Kuningan tadi mengajarkan kita hal pahit yakni antara bijak bermedia sosial dan bijak menahan diri.

Di sini kita belajar satu hal mendasar: kritik memang hak setiap warga, tapi moral dan etika tetap harus menjadi pagar. Kata-kata yang kasar, meski dibungkus nama “kebebasan berekspresi”, pada akhirnya lebih banyak melukai daripada mengubah. Kritik yang cerdas adalah kritik yang menohok tanpa harus menghina. Kritik yang didengar adalah kritik yang tajam tapi tetap beradab.

Namun di sisi lain, kekerasan jelas tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun provokatifnya sebuah komentar, membalas dengan pukulan bukanlah solusi. Kekerasan hanya memperlebar jarak antara rakyat dan pemimpinnya, menciptakan luka baru yang jauh lebih sulit disembuhkan ketimbang kata-kata kasar di kolom komentar. Loyalitas tidak semestinya diterjemahkan dengan kemarahan fisik.

Sejarah yang hampir terlupakan

Jika kita melihat sejarah bagaimana saptonan itu diperingati di Kuningan, maka nama Dr. Dian Rahmat Yanuar M.Si yang saat ini menjadi Bupati tidak bisa dikesampingkan. Beliau adalah sosok dibelakang layar kemudi yang menginisiasi salah satu giat pelestarian budaya daerah yang bernama Saptonan hingga bisa terselenggara 9 kali berturut – turut. Jadi sangat ironis memang jika di zaman beliau sendiri saat menjadi Bupati Saptonan belum bisa digelar kembali. Namun dengan adanya fakta demikian saya menduga beliau sedang mempersiapkan kembali saptonan dengan tajuk yang lebih meriah pasca membaiknya kondisi fiskal daerah.

Bagi yang belum tahu. Dikutip dari pelbagai sumber Saptonan adalah tradisi leluhur dari Kuningan, Jawa Barat, yang berupa lomba ketangkasan menunggang kuda sambil melemparkan tombak ke sasaran. Tradisi ini adalah bagian dari peringatan Hari Jadi Kuningan, yang menampilkan parade keprajuritan, pertunjukan seni, dan lomba panahan sebagai simbol rasa syukur dan pelestarian warisan budaya leluhur.  

Baca Juga :  Kuningan Dorong Penertiban Nama Rupabumi, Demi Tertib Wilayah dan Pelestarian Budaya

Acara dimulai dengan Tari Persembahan dan Tari Panahan, Doa, dan Pembacaan Sinopsis Sapton. Dalam gelaran tersebut, di ceritakan tentang Kerajaan Kajene (Kuningan) kembali menampakan diri dengan raja, atau adipati, patih, mantri jero, hingga para tumenggungnya.

Dengan pakaian jaman kerajaannya,  tampak lima Kawadanan beserta pasukannya beriringan satu persatu untuk menampilkan atraksi seni, seba dan keunikan lainnya kepada bupati atau raja. Dilanjutkan laporan dari pupuhu demang dan langsung di balas oleh bupati.

Selanjutnya, penyerahan seba dari tiap kawedanan dan penyerahan simbolis tombak dan panah kepada Jugul dan peserta panahan oleh bupati/raja. Serta atraksi kejuaraan ketangkasan berkuda, diakhiri dengan panahan tradisional.

Menerka Akhir Cerita

Lalu bagaimana jalan keluarnya? Mungkin kita perlu kembali pada prinsip restorative justice: bukan mencari siapa yang paling salah, tapi bagaimana semua pihak bisa belajar dan berdamai. Warga yang berkomentar kasar bisa meminta maaf atas ucapannya yang kelewat batas. Loyalis yang terpancing emosi bisa mengakui kesalahannya menggunakan kekerasan. Dan bupati, sebagai pemimpin, punya kesempatan emas untuk menunjukkan kebesaran hati dengan memfasilitasi rekonsiliasi.

Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang siapa yang berhak bicara, tapi juga bagaimana kita saling mendengar. Kritik yang bijak adalah kritik yang beradab, dan loyalitas yang sejati adalah loyalitas yang tetap waras.

Mari belajar dari kasus ini: jaga jari, jaga kata, dan jaga tangan. Agar perbedaan pandangan tidak berubah jadi permusuhan, dan agar Kuningan tetap jadi rumah yang hangat untuk semua warganya.

Segelas liberika Cipasung di tanganku akhirnya habis. Rasa pahitnya mengingatkan: hidup selalu punya sisi getir. Tapi jika kita mampu meneguknya dengan sabar, yang tertinggal justru ketenangan. Semoga begitu pula cara kita mengelola kata dan emosi di ruang publik agar tak ada lagi luka yang sia-sia.

Baca Juga :  Bupati Dian Ajak Masyarakat Dukung Pramuka sebagai Garda Terdepan Ketahanan Bangsa

Related posts

Bawaslu Kuningan Tertibkan Baliho Caleg dan Capres di Jalan Protokol

Cikal

KPU Kuningan Tetapkan Jadwal Kampanye Pilkada 2024

Cikal

Sungai Surakatiga Tercemar Sampah, Bikin Orang Nomor 2 Di Kuningan “Gemes”

Cikal

Leave a Comment