Cikalpedia
”site’s ”site’s ”site’s ”site’s ”site’s ”site’s ”site’s
Opini

Antara Komentar Pedas dan Pukulan yang Tak Perlu

Sebuah artikel bijak menyikapi fenomena kritikan kasar kusir delman yang dibalas pukulan

Penulis : Ageng Sutrisno

Pagi ini, aku sedang menikmati secangkir kopi liberika dari Desa Cipasung, Kuningan. Rasanya khas: pekat, sedikit asam, dengan aroma hutan yang menenangkan. Kopi ini mengajarkan kesabaran mulai dari proses panennya yang tidak bisa terburu-buru, hingga rasa yang baru terasa nikmat jika diseruput perlahan.

Di sela-sela tegukan itu, kabar dari jagat maya Kuningan justru menyajikan rasa getir: seorang netizen melontarkan komentar pedas kepada bupati, penuh kata kasar bahkan sampai menggunakan kata “sia” dan “laknat.”

Narasi lengkapnya bisa kita baca dalam transkrip yang tertangkap layar skrinsyut dengan detil seperti ini

“Laknat dian, balap sapeda aya, tradisi leluhur saptonan eweh, pacuan kuda eweh, bupati macam apa kamu dian, te saimbang tacan jadi bupati omongan teh ges jadi bupati, patung kuda di taman kota te di hargaan sia mah dian, bakal ka laknat ku gusti alloh sia mah dian bupati laknat”

Sungguh bernada lebih menjurus kepada ujaran kebencian daripada kritik. Sehingga tak berhenti di situ, loyalis sang bupati pun tak terima dan melampiaskan kemarahan dengan tangan, memukul si pengkritik secara langsung.

Belajar lagi

Kita bisa belajar dari dua peristiwa ini. Pertama, kebebasan berpendapat bukan berarti bebas melempar kata sembarangan. Kritik memang sah, bahkan perlu, tapi tetap harus dibalut dengan etika. Bahasa adalah cermin, dan kata-kata yang keluar bukan sekadar bunyi ia adalah jejak moral kita.

Kedua, membalas kritik dengan kekerasan justru menambah luka. Loyalitas tak boleh berubah menjadi brutalitas. Membela pemimpin tidak harus dengan tinju, justru dengan memberi contoh sikap yang lebih beradab.

Baca Juga :  Memanusiakan Kecerdasan Buatan

Di era media sosial, jari kita sering lebih cepat daripada hati. Kadang, dalam satu ketukan layar, kata-kata meluncur tanpa filter. Kasus terbaru di Kuningan tadi mengajarkan kita hal pahit yakni antara bijak bermedia sosial dan bijak menahan diri.

Di sini kita belajar satu hal mendasar: kritik memang hak setiap warga, tapi moral dan etika tetap harus menjadi pagar. Kata-kata yang kasar, meski dibungkus nama “kebebasan berekspresi”, pada akhirnya lebih banyak melukai daripada mengubah. Kritik yang cerdas adalah kritik yang menohok tanpa harus menghina. Kritik yang didengar adalah kritik yang tajam tapi tetap beradab.

Namun di sisi lain, kekerasan jelas tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun provokatifnya sebuah komentar, membalas dengan pukulan bukanlah solusi. Kekerasan hanya memperlebar jarak antara rakyat dan pemimpinnya, menciptakan luka baru yang jauh lebih sulit disembuhkan ketimbang kata-kata kasar di kolom komentar. Loyalitas tidak semestinya diterjemahkan dengan kemarahan fisik.

Related posts

Dadang Cijoho Siap Maju Bursa PDAU Kuningan

Alvaro

KPK Turun ke Cirebon, Warga Diajak Lawan Korupsi Sejak Dini

Alvaro

Gaspol 100 Hari, Kadisdikbud Kuningan U. Kusmana Luncurkan 8 Inovasi Pendidikan

Cikal

Leave a Comment