Dari kalangan muda, suara kekecewaan juga menggema. AA Fauzi, aktivis mahasiswa dari STAIKU, menyayangkan perilaku wakil rakyat yang dianggap tidak layak diteladani. “Kita belajar kehidupan dari para wakil rakyat. Tapi kalau contoh yang diberikan justru melanggar norma, apa yang bisa kita pelajari?” ucapnya.
Bagi Fauzi, krisis ini bukan sekadar soal hari ini, tapi juga soal warisan nilai. Pembiaran terhadap pelanggaran etika, ujarnya, adalah pembiaran terhadap pembusukan moral secara sistemik.
Secara hukum, anggota DPRD memang terikat oleh kode etik selain aturan perundang-undangan. Tapi di atas hukum, ada etika yang tak tertulis namun melekat tanggung jawab moral terhadap publik.
Masalahnya, apakah BK cukup punya nyali untuk bertindak? Sebab sejarah di banyak daerah menunjukkan, lembaga etik internal kerap tumpul ke dalam dan tajam ke luar. Apakah Kuningan akan jadi pengecualian?
“BK punya tanggung jawab konstitusional, bukan hanya administrative. Kalau kompromi jadi pilihan, maka kita sedang menyaksikan demokrasi yang dikorbankan atas nama kenyamanan politik.” Ungkapnya.
Kini, semua mata tertuju pada BK DPRD Kuningan. Sejauh ini, mereka belum banyak bersuara. Tapi publik sudah bicara. Dan suara publik, jika diabaikan, bisa berubah jadi gelombang yang lebih besar dari sekadar laporan etik.
Sejarah akan mencatat, apakah DPRD mampu berdiri di atas integritas, atau justru tenggelam dalam lumpur kompromi moral. (red)