Cikalpedia.id – Di sebuah perkampungan yang tenang di kaki gunung, Kepala Desa Damar Kurnia yang dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Setiap pagi, ia menyapa warga yang sedang berjualan di pasar tradisional, mendengar langsung keluhan petani, dan tak jarang ikut turun ke lapangan meski hujan mengguyur.
Ia bukan Kepala Desa yang bersembunyi di balik meja kerja ber-AC, melainkan yang tangannya akrab dengan lumpur dan debu desa.
Namun, justru di saat kepercayaan rakyat sedang menguat, badai datang dari arah yang tak terduga.
Pagi itu, Sekertaris Desa datang tergopoh-gopoh ke ruang kerjanya.
“Pak, nomor WhatsApp Bapak diretas. Banyak warga menerima pesan permintaan uang atas nama Bapak.”
Damar terdiam. Ia menatap layar ponsel yang ditunjukkan Sekdesnya. Pesan-pesan itu dikirim dengan gaya bahasa seolah benar-benar dari dirinya, lengkap dengan sapaan khas dan tanda baca yang rapi.
“Ini bukan sekadar peretasan biasa,” gumamnya. “Ini pesan politik.”
Intrik Tanpa Wajah
Beberapa hari sebelumnya, ia memang menolak proyek besar yang diajukan oleh seorang pengusaha lokal di desanya. Proyek itu menjanjikan keuntungan besar, namun akan menggusur lahan pertanian warga.
Damar memilih berpihak pada rakyat, seperti biasa. Dan kini, harga dari keputusannya itu mulai terasa.
Ruang publik mulai dipenuhi bisik-bisik:
“Kepala Desa kepepet uang ya sampai minta ke warga?”
“Katanya merakyat, tapi ternyata tega memanfaatkan jabatan.”
“Jangan-jangan semua pencitraan doang?”
Mata-mata digital mulai mengacak-acak wibawanya. Di balik layar, para lawan politik mulai bergerak, menyusun narasi tandingan, memanfaatkan celah ketidaktahuan warga tentang teknologi untuk menanamkan keraguan.
Di Antara Kebenaran dan Fitnah
Namun Damar tak tinggal diam. Lewat konferensi pers, ia menyampaikan klarifikasi langsung. Ia tak ingin melawan fitnah dengan kemarahan, tapi dengan kejelasan.
“Saya, Damar Kurnia, tidak pernah meminta uang kepada siapapun lewat WhatsApp. Saya percaya, masyarakat desa cukup cerdas untuk membedakan suara saya dari tipu daya digital.”
Ia juga mengirimkan tim dari desa dan relawan muda ke dusun-dusun untuk memberi edukasi soal keamanan digital. Ia tahu, perang kali ini bukan di jalan raya, tapi di jaringan.
Langkah Diam Sang Istri
Di balik semua itu, ada sosok yang tak banyak bicara, namun selalu berjaga: Hayati, sang istri.
Ia mengumpulkan ibu-ibu PKK di desa, tokoh perempuan, hingga relawan media sosial. Dari balik layar, ia ikut menjaga nama baik suaminya dengan ketulusan. Ia tahu, kadang yang diperlukan untuk melawan kejahatan bukan pedang, tapi cahaya.
“Wibawa tak akan runtuh hanya karena fitnah,” katanya lirih pada suaminya. “Selama kamu tetap jujur dan bekerja untuk rakyat, bayangan itu akan hilang oleh sinar pagi.”
Serangan itu memang mengguncang. Tapi rakyat yang benar-benar mengenal siapa Kepala Desa mereka, tahu siapa yang sedang berjuang dan siapa yang sedang bermain bayangan.
Karena pada akhirnya, pemimpin sejati diuji bukan saat ia dielu-elukan, tapi saat ia difitnah dalam diam. Dan Damar memilih diam yang bergerak, bukan marah yang membakar.
Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri
