Tak berhenti di sana. Pemerintah juga menyisipkan uji coba perbandingan antara lahan yang menggunakan pupuk organik dan yang memakai pupuk kimia. Lewat demplot ini, Diskatan hendak menyodorkan satu pertanyaan dasar kepada para petani, mana yang lebih baik bagi tanah, panen, dan masa depan.
“Kami ingin membuktikan dengan data, bukan sekadar imbauan. Kalau hasil organik lebih unggul, itu akan jadi dorongan moral bagi petani untuk berubah,” kata Wahyu.
Langkah ini mencerminkan perubahan pendekatan dalam membangun ketahanan pangan, bukan sekadar mengejar kuantitas, tapi juga memperhitungkan kualitas dan keberlanjutan. Di balik benih dan pupuk, ada upaya menyusun narasi baru tentang hubungan antara manusia, tanah, dan kebijakan.
Kegiatan tanam serentak ini juga bukan program karbitan. Sejak awal tahun, Diskatan sudah menggulirkan pendampingan teknis, distribusi benih, hingga monitoring lapangan yang dilakukan secara menyeluruh. Model ini diklaim sebagai bentuk kehadiran pemerintah “dari hulu sampai hilir”.
Di tengah derap mekanisasi dan urbanisasi yang menggoda generasi muda menjauh dari pertanian, Dusun Kliwon hari itu menjadi penanda kecil: bahwa sawah masih hidup, dan petani masih punya tempat dalam peta masa depan.
Kelompok Tani Himtaka Makmur yang terlibat dalam aksi ini menyimpan harapan sederhana panen yang layak, harga yang stabil, dan kebijakan yang berpihak. Tapi lebih dari itu, mereka juga ingin menjadi inspirasi bahwa dari desa kecil seperti Kutaraja, ketahanan pangan nasional bisa disemai.
Karena di negeri yang rentan krisis pangan, menanam bukan hanya soal panen. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap ketergantungan, dan afirmasi bahwa masa depan bisa dimulai dari lumpur sawah. (red)