Di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi komunikasi, peran Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) seharusnya menjadi jantung keterbukaan informasi publik. Ia semestinya menjadi garda terdepan dalam menghubungkan pemerintah dengan masyarakat, mengelola isu secara cepat, dan membangun ruang dialog yang sehat. Namun, di Kabupaten Kuningan, fungsi itu justru tampak tumpul.
Kritik keras dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kuningan beberapa waktu lalu layak menjadi bahan renungan serius. Sebab, apa yang disoroti bukan sekadar persoalan teknis, melainkan masalah orientasi. Alih-alih menjadi motor transparansi dan inovasi komunikasi publik, Diskominfo justru terjebak dalam rutinitas seremonial dan pencitraan formalitas.
Media resmi pemerintah daerah, baik website maupun media sosial, hampir selalu menampilkan wajah pejabat dalam pose seremonial. Informasi strategis? Data publik yang lengkap? Ruang interaksi langsung dengan warga? Hampir nihil. Padahal, di era komunikasi real-time, model komunikasi satu arah seperti ini sudah ketinggalan zaman.
Kinerja PPID di bawah Diskominfo pun tak luput dari sorotan. Proses permintaan informasi publik sering berlarut-larut, dan ketika informasi diberikan, isinya kerap minim detail bahkan terkesan dikaburkan. Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi bisa dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Lebih memprihatinkan lagi, ketika muncul isu negatif, keluhan layanan, atau dugaan penyimpangan, respons Diskominfo dinilai lambat dan tidak terukur. Akibatnya, rumor telanjur menyebar dan merusak citra pemerintah. Di titik ini, Diskominfo kehilangan fungsi sebagai manajer komunikasi krisis dan malah sekadar menjadi “wartawan internal” yang tugasnya hanya meliput kegiatan pejabat.
Di sisi lain, ancaman hoaks dan disinformasi yang kian masif di Kuningan juga belum diimbangi dengan kampanye literasi digital yang memadai. Tidak ada sistem peringatan dini atau tim khusus yang fokus menangkal berita bohong. Padahal, literasi digital adalah benteng pertama masyarakat dalam menghadapi banjir informasi.
Apakah Diskominfo hanya mau jadi “tukang upload foto pejabat” sebaiknya berganti nama menjadi Dinas Dokumentasi Seremonial, mungkin terdengar pedas. Tetapi jika dicermati, itu adalah sindiran yang mengandung pesan penting. Pemerintah butuh perangkat komunikasi yang substansial, bukan sekadar kosmetik.
Diskominfo perlu evaluasi menyeluruh, mulai dari tata kelola media, penerapan protokol komunikasi krisis yang cepat dan terukur, hingga pembentukan Hoax Buster Team resmi. Lebih dari itu, pola komunikasi satu arah harus ditinggalkan. Transparansi dan interaksi publik bukan sekadar jargon, melainkan kewajiban moral dan hukum.
Sebab, di era digital ini, masyarakat tidak lagi puas menjadi penonton. Mereka ingin terlibat, bertanya, dan mendapat jawaban yang cepat serta jelas. Jika pemerintah masih sibuk menata panggung seremonial sementara informasi yang dibutuhkan publik dibiarkan kabur, maka jurang ketidakpercayaan hanya akan semakin lebar. Dan ketika kepercayaan publik runtuh, seberapa megah pun seremoni, ia tak akan bisa menutupi rapuhnya fondasi komunikasi.
Penulis: Dhika Purbaya, Ketua Umum PMII Kuningan
