Ia menyebut bahwa pemerintah harus mengarahkan tunjangan berdasarkan hasil nyata yang bisa dirasakan oleh masyarakat, bukan sekadar kelengkapan dokumen digital.
Tak hanya pejabat, masyarakat pun perlu diajak berubah. Dedi mencontohkan ironi layanan pendidikan gratis dari SD hingga SMA, tapi uang jajan siswa bisa mencapai Rp30 ribu per hari.
Menurutnya, negara sudah berbuat, tapi publik juga harus berkontribusi dengan perilaku yang efisien dan sadar tanggung jawab.
Dedi mengajak pemerintah untuk mulai membuka seluruh anggaran daerah melalui media sosial secara rinci. Ia menyebut, alih-alih ditutup-tutupi, publik justru lebih percaya jika diberi akses membaca dan memahami anggaran langsung.
“Tampilkan saja APBD kita di TikTok, di Instagram. Biar rakyat tahu dan menilai. Karena semakin ditutup, publik justru makin penasaran,” ujarnya disambut tawa hadirin.
Menutup sambutannya, Dedi mengusulkan pentingnya pemerintah menyiapkan dana darurat atau “flat fund” yang bisa langsung digunakan kepala daerah untuk merespons bencana atau situasi sosial tanpa harus menunggu pembahasan panjang.
“Kalau ada banjir, longsor, atau butuh alat berat, kepala daerah harus bisa langsung eksekusi. Kalau semua harus tunggu pembahasan anggaran, rakyat bisa keburu menderita.” Tegas KDM.
KDM menekankan, tugas pencegahan korupsi bukan hanya milik KPK, tapi seluruh sistem negara. Pencegahan bisa berjalan jika pejabat diberi ruang fiskal yang adil, publik diberi akses informasi, dan seluruh pihak mau berubah.
“Kita semua pasti ingin dipanggil oleh Direktur Pencegahan, bukan Direktur Penyidikan. Karena yang satu diajak diskusi, yang satu diajak ‘pergi’,” tutupnya, disambut tawa dan tepuk tangan hadirin.(Beng)