Seorang laki-laki yang melamar perempuan tahu betul bahwa pernikahan bukan sekadar pesta meriah, foto prewedding, dan janji manis di pelaminan. Ia harus siap menanggung resiko: dari cicilan rumah, biaya sekolah anak, sampai dapur yang kadang lebih sering berasap karena utang daripada karena lauk. Kalau ia hanya siap menerima indahnya bulan madu tapi lari saat badai datang, maka ia tidak layak disebut suami, apalagi kepala keluarga.
Begitu pula seorang pemimpin. Saat bersedia maju, saat menerima mandat rakyat, itu bukan sekadar seremoni pelantikan atau pidato manis di hadapan kamera. Itu berarti siap menanggung seluruh konsekuensi, termasuk defisit anggaran yang sudah menunggu di meja kerjanya sejak hari pertama.
Sayangnya, solusi yang dipilih justru seperti suami yang tidak mampu mencari tambahan nafkah lalu tega mengambil uang belanja istrinya. Memangkas TPP ASN adalah keputusan paling gampang, tapi sekaligus paling malas. Gampang, karena tinggal tandatangan. Malas, karena tidak membutuhkan kreatifitas untuk mencari solusi lain.
Akibatnya jelas: efek domino yang merembet kemana-mana. ASN yang mayoritas hidupnya sudah digantungkan pada TPP dipaksa menyesuaikan diri dengan perut kosong. Jangan harap mereka bisa memberikan pelayanan publik terbaik jika di rumah sendiri, dapurnya tidak lagi mengepul.
Bagaimana mungkin seseorang bisa tersenyum ramah di loket pelayanan ketika anaknya di rumah menunggu uang sekolah? Keputusan ini bukan hanya menurunkan angka di slip gaji ASN, tetapi juga menurunkan motivasi, menurunkan kualitas layanan, dan pada akhirnya menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.