Cikalpedia
Opini

Pejabat Korup, Dimana Etika Politik Pancasila?

Astri Siti Fatonah: Mahasiswi UNISA Kuningan

Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, bukan hanya menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga sebagai etika politik yang seharusnya diterapkan oleh seluruh elemen masyarakat. Namun, realitas saat ini menunjukkan adanya krisis moral dan etika, baik di kalangan pejabat maupun rakyat. Sebagai contoh, sebuah video di media sosial menunjukkan masyarakat menjarah mie instan dari truk yang mengalami kecelakaan di jalan raya.

Alih-alih membantu sopir yang terdampak, masyarakat justru beramai-ramai menjarah mie instan yang berserakan. Video itu bukan hanya potret kehilangan empati, tetapi juga gambaran bahwa etika tidak hanya rapuh di kalangan elite politik, tetapi juga di akar rumput. Jika Pancasila adalah kompas moral bangsa, maka kini kompas itu tampak mulai kehilangan arah, baik di tangan pemimpin maupun rakyatnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat di Indonesia terjerat kasus korupsi. Mereka yang seharusnya menjadi teladan dan pelayan masyarakat justru menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara menjadi bukti nyata krisis etika politik. Misalnya, kasus korupsi e-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, menimbulkan kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun. Selain itu, kasus di PT Pertamina Patra Niaga, di mana sembilan tersangka diduga melakukan praktik pengoplosan BBM, menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya meresap dalam praktik kekuasaan. Sila ke-2, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” serta sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kerap diabaikan demi kepentingan pribadi. TB Hasanuddin, anggota MPR RI, pernah menegaskan bahwa “Pancasila harus menjadi landasan etika politik, bukan sekadar jargon dalam pidato.” Namun, kenyataannya, nilai-nilai tersebut masih sering dikhianati oleh para pemangku kekuasaan.

Baca Juga :  Bom Waktu di Balik Pinjaman 74 Miliar

Namun, di balik kritik terhadap penguasa, ada ironi yang sering terlupakan yaitu masyarakat sendiri kerap menunjukkan perilaku yang juga jauh dari nilai-nilai Pancasila. Contoh nyata bisa dilihat dari perilaku menjarah saat kecelakaan truk yang membawa barang. Selain itu, praktik suap dalam pengurusan administrasi, pelanggaran aturan lalu lintas dan penyelewengan bantuan sosial menjadi hal yang lumrah.

Perilaku ini menandakan lemahnya penghayatan terhadap nilai gotong royong, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Serta menunjukkan bahwa etika politik telah kehilangan pijakan di kedua sisi, baik penguasa maupun yang dikuasai. Bangsa ini seakan hanya menuntut pemimpin bersikap moral, tetapi lupa bahwa negara ini dibangun oleh rakyat pula.

Etika politik tidak boleh bersifat satu arah. Menurut filsuf politik John Locke, legitimasi kekuasaan berasal dari rakyat, sehingga tanggung jawab moral harus dibagi secara proporsional. Negara yang kokoh hanya lahir dari keseimbangan antara moral elite dan moral rakyat. Pancasila bukan hanya milik pejabat negara, tetapi milik setiap individu yang mengaku sebagai warga Indonesia. Oleh karena itu, keseimbangan antara pemerintah yang jujur dan rakyat yang berintegritas merupakan syarat mutlak bagi tegaknya etika politik yang sehat.

Pendidikan karakter berbasis Pancasila harus digencarkan sejak dini, tidak hanya di sekolah, tetapi juga melalui media, keluarga, dan komunitas. Gerakan seperti Revolusi Mental dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dari Kemendikbud adalah langkah awal, namun perlu dievaluasi dan diperluas. Pejabat harus menjadi teladan etika, sementara rakyat harus aktif menjadi kontrol sosial. Etika politik bukan hanya urusan formal, tetapi soal nilai yang hidup dalam keseharian.

Pancasila adalah fondasi etika politik yang luhur, tetapi ia hanya akan hidup jika diterapkan secara adil dan merata. Bangsa ini harus berhenti saling menyalahkan, rakyat menyalahkan pejabat, pejabat menyalahkan rakyat. Sebaliknya, kita harus bercermin bersama. Ketika etika hilang dari dua sisi, arah bangsa pun akan kehilangan kompas. Saatnya kita berhenti hanya menuntut, dan mulai menjalankan.

Baca Juga :  Bela Negara Melawan Algoritma

Penulis: Astri Siti Fatonah; Mahasiswa Universitas Islam Al-Ihya Kuningan

Related posts

Terlilit Judi Online, Pria Ini Nekat Buat Laporan Begal Palsu

Cikal

Kampanye Ridho-Kamdan Diguyur Hujan, Massa Tak Bergeming

Cikal

Dianggap Tidak Kerja; KPU Kuningan Buka Diskusi Penataan Dapil

Ceng Pandi

1 comment

Ceng Pandi 26/05/2025 at 13:10

semoga menginspirasi para pejabat

Reply

Leave a Comment