Aku tahu aku belum sepenuhnya dimaafkan.
Tapi setidaknya, aku belum dilupakan.
Hari ketiga, sore menjelang maghrib, aku masih duduk diam. Hujan turun rintik-rintik. Aku berniat pulang ketika pintu rumah terbuka pelan.
Rafi, si kecil yang belum genap empat tahun, berjalan tertatih ke arahku. Tangannya membawa gambar coretan tak jelas—garis lengkung dan matahari besar di atasnya. Ia berdiri di depan pagar, lalu berkata pelan,
“Ini… buat Ayah.”
Dunia berhenti sejenak.
Aku ambil gambar itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Nak,” kataku nyaris tak keluar dari kerongkongan.
Dari balik tirai, kulihat Nayla menatap. Matanya sembab. Mungkin menangis. Tapi tak lari. Hanya berdiri.
Namun Arga tetap tak terlihat.
Malam itu, aku menangis di kontrakan. Bukan karena sedih. Tapi karena secercah cahaya telah menembus dinding penolakan.
Pintu masih belum terbuka.
Tapi ada suara kecil dari dalam rumah yang sudah memanggilku: “Ayah.”
Episode 5: Luka yang Belum Sembuh
Hari keempat.
Hari ini, aku memutuskan tak membawa apa-apa. Tak makanan, tak oleh-oleh kecil. Hanya duduk. Aku ingin mereka tahu, kehadiranku bukan karena ingin menyuap atau menarik simpati. Tapi karena benar-benar ingin pulang. Sebagai Ayah. Sebagai manusia.
Menjelang siang, pintu rumah terbuka. Arga keluar, mengenakan seragam olahraga. Di tangannya ada botol minum dan raket bulu tangkis.
Langkahnya berhenti tepat di pagar.
Aku bangkit perlahan.
“Arga…” sapaku pelan.
Dia menatapku dingin. “Buat apa ke sini tiap hari? Mau dikasih kasihan?”
Suaranya tajam. Bukan nada anak-anak. Itu suara dari luka yang mendalam.
Aku menarik napas dalam.
“Ayah tahu kamu marah. Harusnya Ayah nggak ninggalin kalian waktu itu.”
Dia mencibir, “Sekarang baru tahu?”
“Waktu itu Ayah… takut terus bikin salah. Takut kamu makin benci.”
“Dan sekarang kamu pikir duduk di sini tiap hari cukup buat ditebus?” Arga mengangkat alis. “Ayah tahu nggak? Ibu tiap malam nggak tidur. Aku yang jagain Nayla kalau nangis mimpi buruk. Aku yang harus bilang ke Rafi kalau Ayah lagi kerja jauh… padahal Ayah pergi!”
Aku menunduk. Ingin menyentuh pundaknya, tapi aku tahu belum waktunya.
“Maafkan Ayah, Ga…”
Dia menatapku lama, lalu menghela napas berat. “Kalau Ayah benar-benar mau balik, jangan cuma duduk di sini. Hadapi semuanya. Tapi jangan pernah kabur lagi.”
Ia berbalik, berjalan pergi ke lapangan.
Aku masih berdiri membatu. Tapi di dada ini, untuk pertama kalinya… luka itu mulai terbuka untuk sembuh.
Sore itu, Nisa datang menyusul.
Ia berdiri di depan pagar. Tak bicara apa-apa, hanya menatapku.
“Arga udah bicara sama aku,” ucapku akhirnya.
“Iya, aku tahu,” katanya. “Dia marah, tapi dia rindu.”
Kami diam beberapa saat.
“Aku nggak janji rumah ini akan hangat seperti dulu,” lanjut Nisa. “Tapi kalau kamu siap benar-benar pulang… aku bisa bukain pintu itu. Pelan-pelan.”
Air mataku tak bisa kutahan. “Aku siap.”
Pintu rumah terbuka.
Tak lebar. Tapi cukup untuk satu langkah masuk.
Episode 6: Rumah yang Tak Pernah Benar-Benar Hilang
Sore itu, untuk pertama kalinya sejak dua bulan lebih, aku melewati ambang pintu rumah kami. Langkahku ragu, tapi tatapan Nisa menguatkan. Di ruang tamu, tak banyak berubah. Foto keluarga di dinding masih tergantung, meski berdebu. Sofa tua itu masih di tempatnya, dan ada gambar-gambar tempelan di dinding—coretan Nayla yang dulu hanya memenuhi kertas, kini menghiasi seisi rumah.
Aku duduk perlahan. Diam. Lalu suara langkah kecil terdengar.
Nayla berlari ke arahku, langsung memeluk lututku. “Ayah jangan pergi lagi ya,” bisiknya.
Aku peluk dia erat. “Ayah janji, Nak. Ayah di sini sekarang.”
Rafi datang menyusul. Ia membawa mobil-mobilan dan duduk di pangkuanku seolah waktu tak pernah memisahkan kami. Seolah tubuh kecilnya tahu, inilah tempat yang seharusnya: di pelukan Ayahnya.
Lalu Arga masuk.
Tanpa banyak kata, dia duduk di kursi seberang. Kami hanya saling menatap. Tidak ada senyum, tapi tak ada lagi tatapan benci. Hanya diam yang mengerti.
Nisa membawa teh. Duduk di ujung sofa.
“Bukan berarti semua selesai,” katanya tegas. “Kita masih punya banyak yang harus dibicarakan. Luka yang belum sembuh. Tapi…”
“Tapi kita keluarga,” aku melanjutkan. “Dan keluarga nggak pernah benar-benar hilang, kan?”
Dia mengangguk pelan.
Senja menutup hari itu dengan langit jingga yang hangat. Tak ada pelukan dramatis, tak ada air mata besar. Hanya keheningan yang tenang. Sebuah keheningan yang penuh harapan.
Aku tahu, perjalanan kami panjang. Tapi hari ini, aku pulang.
Bukan sebagai laki-laki yang melarikan diri dari pertengkaran.
Tapi sebagai Ayah yang memilih tinggal—meski harus belajar ulang dari awal.
Karena rindu itu bukan hanya ingin bertemu.
Rindu yang sejati adalah ketika kita mau memperbaiki yang retak, meski butuh waktu dan hati.
Dan hari ini, rumah itu… hidup kembali.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri