KUNINGAN – Sebutan miskin ekstrim untuk Kabupaten Kuningan sekilas tampak berlebihan. Di sebagian wilayah nyaris sulit menemukan warga dengan kondisi yang benar-benar tidak mampu. Setidaknya, rumah-rumah sudah kokoh dan teraliri listrik, atau paling tidak anak-anaknya sudah memegang handphone.
Tetapi, sebutan miskin ektrim rupaya tepat. Saat ini masih banyak ditemukan warga yang sangat tidak mampu. Setelah sebelumnya viral warga yang tinggal di bekas kandang ayam, kini tim Cikalpedia.id bertemu dengan warga yang sangat tidak umum, hidup di kebun pisang di antara bentangan sawah dan hutan. Meski ia tercatat sebagai warga Dusun Pahing Desa Gewok, Garawangi, Ia jauh dari keramaian warga dan jangkauan aliran listrik.
Adalah Husin (52), bersama istri dan tiga anaknya tinggal di rumah yang terbuat dari bambu dan sisa-sisa matrial pemberian warga. Tidak ada dapur, apalagi ruang untuk menonton Tv dan menerima tamu. Bangunan berukuran 3 x 6 meter itu hanya untuk menyimpan sehelai tempat tidur, tempat baju, dan tikar untuk berkumpul keluarga.
“Pintu dan kaca ini ini bekas pintu mushola, dan atapnya pemberian warga bekas kendang. Bahan-bahan lainnya ada dari bekas bangunan pengadilan,” tutur Husin, mengawali obrolan, Sabtu (19/7)
Dapurnya tepisah di luar rumah. Dindingnya setengah terbuka dan atapnya tertutup asbes bekas. Di bolongan bekas paku memancar sinar matahari. Jika hujan, lubang itu berlaih fungsi menjadi saluran air.
Sekitar tujuh meter sebelah kanan rumahnya, berdiri sumur kokoh dilengkapi tali dan ember penimba. Antara rumah dan sumur itu terpasang bilik ukuran 1×1 meter tak beratap dan hanya beralas kayu, tempat mandi. Untuk kebutuhan minum, masak, dan mandi, Idoy dan keluarga rutin menimba. Tetapi untuk buang air besar, dia dan keluarga masih memanfaatkan saluran air sawah yang tidak jauh dari kediamannya.
“Kami kurang lebih tiga tahun di sini, sebelumnya di atas (di tengah hutan/red), di kandang kambing,” tuturnya.
Pria yang akrab disapa Idoy ini menerangkan, dia dan istrinya bukan asli warga Gewok. Keduanya merupakan pendatang dari Kabupaten Bogor. Sejak 13 tahun yang lalu dia mengikuti kakaknya di Hantara, kemudian pindah ke lokasi saat ini. Haya saja, tanah yang saat ini menjadi tempat tinggalnya bukan hak milik, melainkan pinjaman salah satu warga di sekitar itu.