“Ada warga yang aktivitasnya sebagai guru datang ke kami waktu masih di atas, malam-malam. Beliau meminta supaya saya tidak tinggal di hutan. Atas segala kebaikannya saya ikuti sarannya dan sampai saat ini alhamdulillah tinggal di sini di lokasi tanahnya. Kalau di sini dekat dengan air dan aktivitas warga di sawah,” tuturnya lagi.
Karena jauh dari pemukiman warga, tidak ada aliran listrik ke rumahnya. Kalau malam, rumahnya gelap. Ada penerang dari Cempor, ketika dia punya uang untuk membeli solar. Menurutnya, uang hasil jerih payahnya dari buruh merumput pakan kambing atau sekali-kali menjual sampah harus berbagi untuk kebutuhan inti yaitu membeli beras dan bahan makanan.
“Kalau malam gelap, sedikit terang kalau ada bulan. Saya coba beli solar cell kecil, tapi tidak kuat lama,” tuturnya.
Karena kondisi ekonominya yang sulit, anak pertamanya, Yanti (14) hanya bisa sekolah sampai kelas 7 atau kelas 1 SMP. Pendidikan ditinggalkan karena tidak mau membebani keluarga. Saat ini hanya anak keduanya yang masih sekolah di kelas 2 Sekolah Dasar (SD). Sementara si bungsu, masih sekitar 2 tahunan.
“Dulu si Teteh (anak pertama) sempat mau bekerja di Bogor tapi kami khawatir, dan sekarang kembali di rumah,” tuturnya.
Walaupun hidup jauh dari warga dan ekonomi sulit, pihaknya tetap bersyukur karena rizkinya selalu datang dari para dermawan. Bahkan, selain dari individu yang mengenalnya, pernah beberapa kali menerima bantuan dari desa setempat. Hanya saja, karena tidak memiliki tanah, Ia tidak menerima bantuan Rutilahu.
“Kalau terdaftar di PKH sih tidak. Tapi pernah menerima bantuan dari desa. Alhamdulillah rizki ada saja,” pungkasnya. (San)