Cikalpedia
Cerpen

Tak Ada yang Menjawab

Andra menatap berita itu lama, lalu melihat Laras yang kini tampak lebih kecil dari biasanya—bukan secara fisik, tapi oleh rasa bersalah yang dipikul terlalu lama.

“Aku pernah kehilangan segalanya juga, Ras,” kata Andra pelan. “Dan satu hal yang aku pelajari… yang jatuh bukan berarti harus dihukum selamanya.”

Laras tak menjawab. Tapi air matanya jatuh tanpa suara.

Hari itu, kepercayaan mereka berubah bentuk: bukan sekadar kerja sama, tapi pengakuan. Mereka saling tahu luka masing-masing, dan tetap memilih berdiri bersama.

Tidak Semua yang Tumbuh Siap Dipetik

Kafe kecil Andra dan Laras makin ramai. Instagram mereka mulai viral gara-gara satu video pelanggan yang merekam tulisan kecil di tembok:
“Kami tidak jual makanan mahal. Kami jual kejujuran dan keberanian bangkit.”

Tapi yang viral, cepat jadi sasaran.

Dua blok dari kafe mereka, muncul kedai baru: “Langit Rasa”, dengan branding yang sangat mirip. Menu nyaris sama. Bahkan kalimat promosi di media sosialnya seolah meniru gaya Laras menulis caption.

Laras geram. “Ini bukan kebetulan. Mereka tahu kita belum bisa patenkan nama, belum kuat dari sisi hukum.”

Andra lebih tenang, tapi matanya tajam. “Yang palsu bisa cepat tumbuh, tapi nggak bisa bertahan lama.”

Namun malam-malam mereka mulai diliputi gelisah. Beberapa pelanggan pindah. Supplier naikkan harga. Bahkan pegawai magang mereka ditawari gaji dua kali lipat oleh kompetitor.

Dalam semua kekacauan itu, ada hal lain yang tumbuh pelan tapi dalam: rasa.

Andra mulai sadar, ia menunggu Laras setiap pagi, bukan cuma untuk urusan bahan baku. Laras sering curi pandang saat Andra sibuk di dapur, lalu pura-pura melihat ke kompor.

Tapi tiap mereka mulai terlalu dekat, Andra mundur. Bukan karena Laras tak layak dicintai. Tapi karena ia takut:
“Kalau aku jatuh hati… dan dia pergi seperti yang lain?”

Dan seakan semesta sengaja menguji, suatu sore, Laras didatangi tamu laki-laki tinggi, berjaket kulit. Andra hanya melihat dari kejauhan. Mereka bicara lama. Tertawa kecil. Lalu pelukan singkat.

Laras masuk dengan wajah yang sulit ditebak. “Itu… mantan tunanganku. Yang dulu ninggalin aku waktu kasus itu meledak. Sekarang dia balik, minta maaf. Katanya… dia nyesel.”

Andra diam. Hatinya seperti ditarik pelan-pelan keluar dari dadanya.

“Dan?” tanyanya datar.

“Aku nggak jawab apa-apa,” kata Laras. “Karena aku sendiri belum tahu… aku milih apa.”

Kalau Aku Bicara Terlambat

Tiga hari sejak kedatangan mantan tunangannya, Laras jadi lebih diam. Senyum masih ada, tapi seperti ditempelkan saja. Andra tak pernah bertanya, dan Laras tak pernah menjelaskan. Tapi hening itu seperti api kecil yang perlahan membakar di dalam.

Andra mencoba sibuk. Ia datangi pasar lebih pagi, urus bahan lebih banyak, bahkan mulai pelajari sistem keuangan kafe agar bisa bantu lebih dari sekadar angkut sayur. Tapi setiap ia melihat Laras, dadanya sesak oleh dua hal: rasa yang belum sempat ia ucapkan… dan ketakutan bahwa semuanya bisa hilang begitu saja.

Suatu malam, setelah pelanggan terakhir pulang dan lampu kafe mulai redup, Laras duduk di bangku bar. Matanya merah. Ia menatap langit-langit, lalu berkata pelan:

“Mas… aku dikasih tawaran. Buka kafe di Bandung. Dibiayai penuh. Dari orang itu.”

Andra menelan ludah. Lama ia diam.
“Aku tahu dia datang bukan cuma mau minta maaf.”

Laras mengangguk. “Tapi aku juga nggak yakin kenapa aku masih diem di sini.”

Andra berdiri di depan Laras. Tangannya gemetar, seperti ingin menggenggam, tapi tertahan oleh ketakutan yang bertahun-tahun membatu.

“Aku bukan siapa-siapa, Ras. Aku nggak bisa janji bikin hidup kamu mudah. Tapi aku juga nggak pernah pura-pura. Setiap hari di sini… itu jujur. Dan kamu satu-satunya orang yang lihat aku, bukan bekas bangkrutanku.”

Laras menatapnya, pelan.

“Aku nggak tahu kamu butuh apa. Tapi kalau kamu butuh alasan buat tinggal…”

Andra berhenti. Suaranya tercekat.

“…aku.”

Keheningan mengambang. Laras menunduk, wajahnya tak bisa ditebak.
“Kenapa baru sekarang, Mas?”

Andra menahan napas.
“Karena aku baru berani. Tapi kadang, keberanian datang setelah semua jalan hampir tertutup.”

Tinggal Tanpa Tetap

Laras pergi.

Bukan dengan drama air mata, bukan dengan pelukan panjang atau ciuman di bawah hujan seperti di film-film. Ia hanya mengepak ransel kecil, meninggalkan daftar supplier, dan selembar surat di meja dapur.

“Andra, aku tinggal bukan karena aku nggak percaya kamu. Tapi karena aku belum selesai dengan diriku sendiri. Kita sama-sama patah — tapi aku takut kalau kita bertahan hanya karena sama-sama takut sendiri. Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi… kalau aku benar-benar memilih diriku dulu.”

Andra membaca surat itu tanpa suara. Tapi hatinya berteriak.

Hari-hari setelah itu terasa aneh. Dapur kafe tetap panas. Pembeli tetap datang. Tapi tidak ada lagi suara Laras memarahi oven yang meledak kecil, atau tawa pelan saat mereka rebutan sendok. Hening sekarang bukan soal tidak ada suara—tapi karena yang dulu pernah hidup, kini menghilang.

Beberapa orang bertanya, “Mbak Laras ke mana?”
Andra hanya jawab, “Ada urusan di luar kota.”

Suatu malam, ia duduk di bangku bar tempat Laras biasa duduk. Ia menyalakan lampu temaram dan membuka handphone. Jari-jarinya membuka folder “Konsep Menu Baru” — tempat di mana Laras dan dia sering mencoret-coret ide dengan tawa dan kopi dingin.

Lalu ia kirim satu pesan.

“Hari ini ada pelanggan minta menu ‘Nasi Gulung Tahu’ yang kamu ciptakan. Aku bilang, itu menu favorit pemilik kafe ini. Mereka senyum. Tapi aku enggak. Aku kangen.”

Tidak ada balasan malam itu. Tapi Andra tahu, mungkin itu bukan tentang balasan.
Mungkin ini tentang rasa yang cukup untuk disimpan, meski tak sempat jadi milik.

Epilog

Beberapa bulan kemudian, Laras kembali. Tapi bukan untuk tinggal — hanya untuk membeli satu porsi nasi gulung tahu, duduk diam di pojok kafe, lalu pergi dengan senyum kecil.
Dan Andra? Ia tidak mengejar.

Karena kadang, orang yang paling kita cintai, adalah orang yang harus kita lepas… supaya mereka benar-benar bisa pulang, suatu hari nanti — dengan versi terbaik dari dirinya.

Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri

Related posts

Wajah Baru di Polres Kuningan: Jabatan Strategis Berganti, Kapolres Ingatkan Integritas

Cikal

TPP ASN Kuningan Cair Dua Bulan Sekaligus, Total 20 Miliar Digelontorkan

Cikal

Tonggak Baru KONI Kuningan: Trias Andriana Resmi Nahkodai Periode 2025–2029

Alvaro

Leave a Comment