Dijelaskan Uu, sejumlah lampiran dalam SKB dan SE tersebut, lebih menyoroti secara khusus pada klausul lampiran II yang menyatakan bahwa ASN dapat dikenai sanksi disiplin sedang jika ASN melakukan pendekatan kepada Partai politik sebagai Bakal Calon (Presiden/Wakil Presiden/DPR/DPD/DPRD/ Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Walikota), dan Masyarakat (bagi independent) sebagai bakal calon (DPD/DPRD/Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/ Wakil Walikota), dengan tidak dalam status Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN).
“Pada bagian itu menarik untuk dianalisis, karena ketentuan tersebut telah melahirkan perdebatan pro dan kontra di masyarakat. Pro Kontra tersebut lahir karena adanya perbedaan cara pandang dalam memahaminya. Dalam memberikan pendapat terkait hal tersebut, penulis sengaja menebalkan frase tertentu karena akan dikaji secara khusus dengan melakukan penafsiran secara gramatikal dan sistematis,” ungkap Uu
Frase “melakukan pendekatan”, disebutkan Uu secara gramatikal dapat difahami bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat aktif, bukan kalimat pasif. Artinya, ASN dimaksud dengan sadar dan bergerak aktif melakukan pendekatan kepada Partai Politik untuk dapat menjadi bakal calon pada kontestasi Pilkada.
“Tentu berbeda maknanya, apabila ASN dimaksud dalam posisi diundang pada berbagai acara partai politik atau komunitas masyarakat tertentu. Sebab kehadirannya hanya untuk memenuhi undangan kegiatan yang diselenggarakan oleh partai politik atau komunitas masyarakat itu,” kata Uu
Adapun berkaitan dengan frase “Bakal Calon”, dikatakan Uu, dapat ditafsirkan bahwa saat ini seluruh Warga Negara Indonesia (baik ASN maupun Non ASN) yang hendak maju dalam kontestasi Pilkada belum dapat dikatakan sebagai “Bakal Calon”. Karena penyebutan istilah Bakal Calon sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 1 ayat (18) Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota.
“Di sana disebutkan bahwa Bakal Pasangan Calon Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang selanjutnya disebut Bakal Pasangan Calon, adalah warga negara Republik Indonesia yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk mengikuti Pemilihan,”ujar Uu
Maka dari itu. Uu menyampaikan sebutan Bakal Calon berlaku apabila seseorang telah memiliki pasangan untuk mendaftarkan atau didaftarkan ke KPU sesuai tingkatannya untuk mengikuti kontestasi Pilkada. Faktanya, sampai saat ini belumlah sampai pada tahapan pendaftaran bakal calon.
“Sebab menurut ketentuan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan Dan Jadwal Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota Tahun 2024, pendaftaran pasangan calon baru akan dilaksanakan tanggal 27 s.d 29 Agustus 2024,” kata Uu
Selanjutnya, frase “dengan tidak dalam status Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN)” yang dapat ditafsirkan bahwa kegiatan aktif melakukan pendekatan kepada partai politik sebagai bakal calon dilakukan dalam keadaan tidak dalam status CLTN. Berdasarkan Peraturan BKN Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahwa yang dimaksud dengan cuti adalah keadaan tidak masuk kerja yang diizinkan dalam jangka waktu tertentu.
“Dari sana dapat difahami bahwa kondisi cuti itu terikat dengan hari kerja dan jam kerja seorang ASN. Artinya, seorang ASN yang mengajukan cuti, apapun jenis cutinya, dilakukan untuk keadaan pada hari kerja dan jam kerja, kecuali pada hari libur yang ditetapkan sebagai cuti bersama oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, seorang ASN dapat diduga melanggar dan dikenai sanksi apabila kegiatan ASN yang melakukan pendekatan kepada Partai Politik sebagai bakal calon (Gubernur/WakiGubernur/Bupati/Wakil Bupati/ Walikota/Wakil Walikota) dilakukan pada hari kerja dan jam kerja yang tidak dalam keadaan Cuti di Luar Tanggungan Negara,” jelas Uu
Pertanyaannya,lanjut Uu, bagaimana dengan ASN yang melakukan pendekatan kepada Partai Politik sebagai bakal calon Gubernur/WakiGubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Walikota), yang dilakukan di luar hari kerja dan di luar jam kerja. Dia berpandangan adanya frase “dengan tidak dalam status Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN)” telah menimbulkan problematika hukum, berupa kekosongan hukum. Adanya frase dengan tidak dalam status Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN) telah memberikan batasan sekaligus celah hukum, sehingga ASN tidak dapat disanksi ketika melakukan pendekatan kepada Partai politik sebagai bakal calon (Gubernur/WakiGubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Wali kota), yang dilakukan di luar hari kerja dan di luar jam kerja.
“Dalam pepatah hukum disebutkan “segala sesuatu yang tidak dilarang, diperbolehkan”. Konsepnya adalah bahwa tindakan apa pun dapat diambil kecuali ada peraturan perundang-undangan yang melarangnya,” kata Uu
Bahkan Filsuf hukum Ota Weinberger menyatakan bahwa dalam sistem tertutup di mana semua kewajiban dinyatakan secara eksplisit berlaku aturan kesimpulan berikut segala sesuatu yang tidak dilarang, diperbolehkan. Kemudian, terdapat juga asas legalitas formil atau juga dikenal sebagai asas legalitas prosedural atau asas legalitas formal bahwa prinsip hukum yang menekankan perlunya adanya undang-undang yang jelas dan pasti sebagai dasar bagi tindakan pemerintah dan penegakan hukum.
“Jadi kesimpulan saya bahwa pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada dapat dikategorikan sesuai jenis pelanggarannya, yaitu pelanggaran kode etik dan pelanggaran disiplin yang tunduk pada UU ASN dan PP Disiplin PNS, dan pelanggaran pidana yang tunduk pada UU Pilkada. Namun demikian, dalam memahami dan menerapkan penegakan hukum netralitas ASN, Bawaslu beserta jajarannya dan pemangku berkepentingan lainnya hendaknya bersikap hati-hati, cermat, teliti serta memahami secara utuh dan komprehensif norma hukum berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur netralitas ASN dalam Pilkada. Hal tersebut menjadi catatan penting agar di kemudian hari tidak menimbulkan problematika dan tidak ada pihak yang merasa diuntungkan maupun dirugikan,” jelas Uu. (red)