Cikalpedia.id – Di sebuah kota kecil yang tenang, hiduplah seorang anggota dewan perempuan yang dikenal warga dengan panggilan manis: “Ibu Dewan.”
Panggilan yang manis, meski sikapnya sering terasa getir.
Rumahnya sudah ada dua, satu di kota, satu lagi di pinggiran dengan halaman luas, katanya untuk “dekat dengan rakyat”. Mobilnya tiga, berganti tiap hari sesuai warna bajunya.
Gaji bulanannya cukup besar, ditambah fasilitas negara yang membuat hidupnya nyaris tanpa beban.
Namun, kabar terbaru yang bikin warga geleng kepala:
Ibu Dewan ngotot meminta tambahan tunjangan perumahan, transportasi, dan komunikasi.
Alasannya? “Demi menunjang kinerja pelayanan rakyat.”
Warga yang mendengar hanya bisa tertawa pahit.
“Lha, rumahnya sudah dua, mobilnya ada tiga, HP saja jarang hidup. Tunjangan komunikasi buat apa?” gumam seorang bapak di warung kopi.
Benar saja, nomor telepon Ibu Dewan hanya aktif kalau dekat masa kampanye. Selebihnya, jangankan balas pesan, nada sambung saja seperti radio rusak.
Kalau ada warga butuh, jawabannya cuma, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, coba beberapa saat lagi.”
Beberapa saat itu entah berapa tahun lamanya.
Kadang- kadang Ibu Dewan hadir dengan senyum penuh cahaya. Ia mengajak para pendukungnya makan-makan di rumah makan mahal.
Piring berisi sate, nasi liwet, sampai es kelapa berjajar rapi.
Pendukungnya merasa senang, walau sesungguhnya datang hanya demi gratisan.
Namun, di balik itu ada permainan kecil: tim fotografernya sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut.
Setelah diedit dan diberi keterangan, acara makan-makan itu pun berubah menjadi dokumentasi “Kunjungan Reses, Mendengar Aspirasi Rakyat.”
“Padahal aspirasi yang paling keras terdengar cuma suara sendok sama piring,” kata seorang ibu sambil tertawa getir.
Setiap kali warga berusaha menyindir, Ibu Dewan punya jurus pamungkas: senyum manis dan kalimat klise.
“Mohon doa dan dukungannya, semua ini untuk kesejahteraan bersama.”
Dan warga pun sadar, kesejahteraan bersama itu sebenarnya hanya berarti bersama-sama menonton Ibu Dewan makin sejahtera.
Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri
