Cikalpedia.id – Di kampung itu, orang-orang dulu bersorak gembira ketika seorang warganya berhasil duduk di kursi parlemen.
“Wah, akhirnya ada wakil kita yang bisa menyuarakan jeritan rakyat!” begitu kata tetua kampung sambil menepuk dada.
Namun, suara rakyat ternyata hanya berhenti di tenggorokan. Karena si wakil yang mereka banggakan itu ternyata lebih mirip patung lilin daripada orator.
Kalau ada acara warga—entah itu peringatan 17 Agustus, hajatan, atau sekadar rapat RT—nama beliau selalu tercantum di undangan. Kursinya selalu disediakan, bahkan mikrofon disiapkan.
Tapi apa yang terjadi?
Kursi kosong, mikrofon dingin, undangan hanya jadi formalitas.
Kalau pun sekali waktu datang, beliau hanya tersenyum mirip iklan pasta gigi, lalu berkata, “Mari kita makan bersama,” tanpa sambutan sedikit pun.
Padahal tugasnya menyuarakan aspirasi, bukan cuma menyuarakan selamat makan.
Di gedung parlemen, kondisinya lebih parah. Suara jangkrik lebih sering terdengar daripada suara sang dewan. Orang-orang sampai bercanda, “Itu kursi diisi orang, atau boneka? Karena tidak pernah terdengar sepatah dua kata pun.”