KUNINGAN – Kawasan hulu Sungai Cilengkrang di Kabupaten Kuningan sedang berada di ujung tanduk. Degradasi lingkungan yang terus berlangsung tanpa penanganan serius dikhawatirkan akan menjadi bencana ekologis yang mengancam ribuan warga.
Ketua Gema Jabar Hejo Kuningan, Daeng Ali, secara tegas menyebut situasi ini sebagai “bom waktu” yang bisa meledak kapan saja.
“Ini bukan sekadar persoalan teknis, tapi soal nyawa dan masa depan masyarakat Kuningan. Jika hulu rusak, seluruh sistem kehidupan di hilir akan terganggu. Pemerintah harus bertindak sekarang,” tegas Daeng Ali kepada wartawan. Senin (26/5/2025)
Menurut Daeng, degradasi Sungai Cilengkrang terjadi akibat tiga faktor utama, yaitu eksploitasi air berlebihan oleh industri dan pertanian tanpa regulasi ketat, lalu perusakan jalur alami air akibat alih fungsi lahan illegal, dan minimnya edukasi lingkungan sehingga masyarakat tidak menyadari dampak jangka panjangnya.
Gema Jabar Hejo mendesak moratorium sementara terhadap aktivitas yang merusak aliran sungai, diikuti restorasi ekosistem dan reboisasi massif di kawasan hulu.
“Jika air mati, segalanya ikut mati. Kita tidak boleh kalah oleh kelalaian dan keserakahan,” ujarnya
Dikatakan Daeng Ali, persoalan semakin pelik ketika ketidakjelasan implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kuningan. Pada 2022, Gema Jabar Hejo pernah mengajukan audiensi terkait pelanggaran RTRW, namun respons pemerintah dinilai setengah hati.
“Bahkan Bappeda meninggalkan ruangan saat audiensi. Ini menunjukkan sikap tidak serius dalam menangani masalah lingkungan,” kritiknya.
Yang lebih memprihatinkan, Pemkab Kuningan dinilai abai terhadap aturannya sendiri. Salah satu contoh nyata adalah pembangunan Arunika di kawasan yang seharusnya dilindungi berdasarkan Perda No. 26/2011 dan Perbup No. 84/2020.
“Lokasi itu masuk Kawasan Rawan Bencana Geologi. Jika izinnya dipaksakan, pejabat yang menandatangani bisa dipidana sesuai Pasal 73 UU No. 26/2007,” tegas Daeng.
Daeng Ali mendorong warga untuk aktif mengawasi dan melaporkan pelanggaran tata ruang, baik melalui gugatan Class Action maupun legal standing organisasi lingkungan.
Ia juga mendesak Pemprov Jabar dan Kementerian ATR/BPN turun tangan melakukan investigasi menyeluruh.
“Jangan biarkan debat di media mengaburkan fakta. Pemerintah pusat harus turun tangan sebelum terlambat,” tegasnya.
Sementara, persoalan Sungai Cilengkrang adalah cermin konflik antara pembangunan dan kelestarian alam. Jika tidak ada tindakan tegas, bukan tidak mungkin bencana ekologis akan menjadi harga yang harus dibayar mahal oleh generasi mendatang.
“Kita tidak punya planet cadangan. Jika pemerintah terus abai, siapa yang akan bertanggung jawab ketika bencana datang,” pungkas Daeng Ali. (red)
