Cikalpedia
Opini

Akhiri Tradisi Branding Musiman, Mulai Bangun Identitas Jangka Panjang

Cikalpedia.id – Di tengah geliat pengembangan sektor pariwisata, Kabupaten Kuningan kembali disibukkan dengan wacana penggantian tagline promosi daerah. Setelah sempat dikenal dengan slogan “Kuningan Sajati”, lalu digantikan oleh “Kuningan Beu” di era Pj. Bupati Dr. Iip Hidayat, kini bermunculan beberapa opsi tagline lainnya seperti “Kuningan Moyan”, “Kuningan Binangkit” dan “Kuningan Sadis”.

Namun belum sempat wacana itu dibahas lebih dalam, Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar menanggapi dengan santai namun menohok.

“Saha sih om… anu bade ngaganti?” ungkapnya, Kamis (10/7/2025), seolah menyindir pihak-pihak yang melempar wacana secara serampangan.

Sikap Bupati ini mempertegas bahwa secara resmi, belum ada keputusan maupun rencana dari Pemkab untuk menghapus tagline “Kuningan Beu”, yang masih sah digunakan berdasarkan SK Bupati Nomor 500.13.3.3/KPTS.40-DISPORAPAR/2024 sejak Januari lalu.

Wacana yang Terlalu Politis?

Usulan mengganti tagline menjadi “Kuningan Sadis” datang dari Iwan Mabruri, seorang yang dikenal sebagai loyalis garis keras pasangan Dian–Tuti. Ia menilai kata “Beu” sudah tidak relevan dan bisa dipelesetkan secara negatif. Ia pun menyodorkan alternatif baru yang, menurutnya, mencerminkan nilai kekeluargaan dan loyalitas.

Namun pandangan ini langsung memicu kontroversi. Banyak pihak menganggap wacana penggantian tagline terlalu kental muatan politiknya.

Cucu Supriadin, Sekretaris Umum KAHMI Kuningan, menegaskan bahwa branding daerah semestinya lahir dari proses strategis, bukan dari hasrat politik jangka pendek.

“Kalau setiap ganti pemimpin ganti slogan, itu tanda kegagalan membangun arah jangka panjang,” kritiknya.

Menurut Cucu, selama ini banyak slogan yang digulirkan tanpa kebijakan turunan yang konkret. Dari “Kota Pendidikan”, “Kota Angklung”, hingga “Beu”, tak satupun yang berhasil diwujudkan dalam bentuk kebijakan nyata yang dirasakan masyarakat.

Diskusi Branding yang Belum Tuntas

Kepala Disporapar Kuningan melalui Kabid Pemasaran Ahmad Djajuli, menjelaskan bahwa memang sempat digelar rapat telaah branding dengan berbagai usulan yang muncul, seperti “Kuningan Moyan”, “Kuningan Ageh”, hingga “Kuningan Binangkit”.

Baca Juga :  Wastra Kuningan Juara! Batik Paseban dan Kamuning Tembus Panggung Internasional

Namun Disporapar Kuningan menegaskan, belum ada satupun yang dikaji komprehensif.

“Nama-nama itu masih sebatas usulan. Tagline resmi masih ‘Kuningan Beu’,” tegasnya.

Ia pun berharap masyarakat tidak salah tafsir terhadap wacana yang berkembang.

Disporapar Kuningan menyatakan bahwa tagline “Kuningan Beu” masih berlaku sesuai SK Bupati Januari 2024, meski memang tengah dikaji beberapa opsi baru seperti “Kuningan Moyan” atau “Kuningan Binangkit”.

Antara Citra, Strategi, dan Konsistensi

Wacana perubahan tagline ini menjadi refleksi tentang bagaimana branding daerah tidak boleh diperlakukan sebagai alat politik. Branding harus menjawab kebutuhan strategis jangka panjang: menarik wisatawan, memperkuat identitas lokal, dan mendukung pembangunan ekonomi.

Bupati Dian sendiri menutup perdebatan dengan gaya khasnya:

“Aya mah, satu… MELESAT.”

Satu kata yang mungkin bermakna lebih dari sekadar jawaban, bahwa yang dibutuhkan Kuningan bukanlah akrobat kata-kata, tapi lompatan konkret menuju masa depan

Arahkan Energi pada Konten, Bukan Kata

Tagline atau slogan daerah bukan sekadar permainan kata. Ia adalah simbol arah pembangunan, cerminan jati diri masyarakat, dan alat komunikasi kepada wisatawan serta investor. Namun sayangnya, di Kuningan, tagline tampaknya kerap diperlakukan seperti baju harian: gonta-ganti tergantung siapa pemimpinnya.

Apakah setiap Bupati harus membawa “warisan kata” sendiri demi eksistensi politik? Jika demikian, tak heran jika branding kita tak pernah kuat di benak publik. Yang tertinggal hanya jejak retorika yang mudah dilupakan.

Pariwisata bukan soal slogan. Ia tentang pengalaman, layanan, infrastruktur, dan cerita lokal. Jika waktu dan energi dihabiskan hanya untuk debat tagline, maka kita sedang menjual bungkus tanpa isi.

Alih-alih mengutak-atik istilah, lebih baik Pemkab dan stakeholder pariwisata duduk bersama menyusun roadmap pariwisata 10 tahun ke depan. Di mana posisi branding di dalamnya? Apa targetnya? Apa indikatornya? Apa kebijakan pendukungnya?

Baca Juga :  Tidur di Tenda, Bangun Jiwa Ksatria: Pejabat Kuningan Jalani Retreat ala Prabowo

Jika semua itu dijawab dengan serius, maka mau pakai kata “Beu”, “Ageh”, “Moyan”, atau bahkan “Sadis”, publik akan mendukung—asal ada substansinya.

Mari akhiri tradisi branding musiman dan mulai bangun identitas jangka panjang. Karena yang dibutuhkan Kuningan bukan kata-kata baru, tapi keseriusan dalam mewujudkan maknanya.

Jika Anda warga Kuningan atau pelaku industri kreatif lokal, apa menurut Anda slogan yang paling mewakili semangat, keunikan, dan arah pembangunan daerah ini? Mari beri suara Anda, sebelum branding kita diganti (lagi) hanya karena politik musiman. (Bengpri)

#Opini (Hanya Rangkuman Berita)

Related posts

Pelukan Kasih untuk Dea Farihat, Anak Hebat Pejuang Epilepsi dan Cerebral Palsy

Cikal

M. Ridwan Soroti Jalan Rusak Tak Sesuai 100 Hari Kerja

Cikal

Siap-Siap, Sepuluh Hari Lagi Pendaftaran Seleksi Sekolah Kedinasan Akan Dibuka

Cikal

1 comment

Wilhelmina Jeck 03/11/2025 at 02:17

Terrific paintings! That is the kind of information that are meant to be shared around the web. Shame on the seek engines for not positioning this put up upper! Come on over and consult with my web site . Thanks =)

Reply

Leave a Comment