Ia teringat bagaimana kegiatan-kegiatan budaya yang masih bisa berjalan selama ini justru atas simpati dan dukungan para perantau.
Dari rantau, mereka mengirim bantuan, berharap kampung halaman tetap hidup dengan irama tradisi. Itulah bukti bahwa cinta pada tanah kelahiran tak pernah padam, meski keterbatasan membelenggu.
Diraya pun sadar, ia sendiri mencintai tanah kelahirannya dengan sepenuh jiwa, dirinya ingat saat menggagas Kabupaten Angklung, Pacuan Kuda tradisional dan banyak hal yang lainnya. Cinta itu tak boleh kalah oleh caci maki ataupun kekerasan.
Beberapa hari kemudian, kejadian tak terduga datang. Si pengkritik yang sempat melontarkan kata-kata kasar akhirnya datang ke pendopo. Wajahnya masih menyimpan bekas luka, tapi suaranya lirih, penuh penyesalan.
“Pak Bupati, maafkan saya. Emosi saya lebih duluan daripada pikiran. Saya hanya rindu Saptonan, hanya ingin tanah kelahiran saya tetap punya jati diri.”
Diraya menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangan.
“Kamu rakyatku. Kalau rakyatku marah, aku harus mendengar. Kalau rakyatku salah, tugasku bukan membenci, tapi memaafkan. Kita sama-sama cinta tempat ini, kan?”
Air mata menetes di wajah si pengkritik. Ruang pendopo menjadi saksi: antara kata yang pernah melukai dan tangan yang pernah mengayun tinju, akhirnya ada jalan damai.
Dan dalam hati Diraya tahu, ujian seorang bupati bukan pada seberapa keras ia bisa membalas, tetapi pada seberapa luas ia bisa memaafkan. Karena cinta pada tanah kelahiran lebih besar daripada segala luka.
Hanya Fiksi yang Terinspirasi dari kejadian-kejadian di sekitar Kita yang mungkin bisa terjadi by Bengpri.
