Cikalpedia.id – Tangis kecil itu pecah menjelang senja.
Seorang bocah berusia lima tahun, Vano namanya, duduk di pojok ruangan memeluk pedang dari pelepah Pisang yang pernah ia buat bersama ayahnya.
Matanya sembab, pipinya basah. “Ayah… Vano kangen…” lirihnya, seolah berharap suara itu bisa terbang jauh, menembus jarak dan sampai ke hati ayahnya.
Vano sangat dekat dengan ayahnya.
Setiap hari mereka seperti tak terpisahkan, bermain perang-perangan, membuat api unggun kecil di halaman belakang, bercanda saat mandi, sampai tertawa lepas saat sang ayah mengantar dan menjemputnya dari TK.
Tak jarang ayahnya yang cebokin Vano sambil menyanyi lucu, membuat si kecil geli.
Tapi sudah hampir tiga bulan ini, semua itu hilang. Ayahnya tak lagi di rumah.
Di tempat yang berbeda, di sebuah kamar sepi yang disewa seadanya, sang ayah duduk memandangi foto kecil Vano yang selalu ia simpan di dompet.
Matanya redup, penuh rindu. Seorang pria yang dulu dipuja Vano sebagai pahlawan, kini berjuang melawan dirinya sendiri.
Kariernya sebagai programmer runtuh pelan-pelan. Proyek makin sepi, penghasilan tak menentu.
Sementara istrinya yang bekerja sebagai ASN, makin keras dan sering mengkritik.
Pertengkaran demi pertengkaran pecah hampir setiap malam, sebagian besar karena uang… sebagian lainnya karena harga diri yang makin terkikis.
Di mata dua anaknya yang sudah remaja, ia seperti bayangan pecundang. Seorang pria pengangguran, kalah dari tekanan, dan kadang larut dalam judi serta miras demi menenangkan kekacauan batin yang tak bisa ia ceritakan ke siapa pun.
Namun bukan berarti ia tak mencintai anak-anaknya. Terutama Vano.
Vano adalah alasan terakhirnya untuk bertahan.
Ia keluar dari rumah bukan untuk lari. Tapi untuk membuktikan pada dirinya, pada dunia, dan pada Vano bahwa ia masih bisa menjadi ayah yang layak dicintai.
Bahwa ia masih bisa bangkit, meski dari dasar paling gelap kehidupannya.
- Hujan di Ujung Senja
Vano duduk di dekat jendela, menatap hujan yang turun perlahan di halaman rumah. Jemarinya menggenggam erat mobil-mobilan rusak yang dulu dibuat ayahnya dari kayu bekas.
Di sisi lain ruangan, ibunya sibuk mencuci piring, sementara dua kakaknya asyik dengan gawai masing-masing.
Vano tak peduli. Yang ia ingat hanya satu hal:
“Kenapa Ayah belum pulang juga?”
Sudah hampir tiga bulan sejak terakhir kali ia melihat senyum ayahnya. Pria yang selalu menjemputnya dari sekolah, yang suka membuatkan api unggun kecil di halaman belakang, mandiin Vano sambil menyanyikan lagu aneh tapi lucu.
Kini semua itu tinggal kenangan. Tak ada lagi suara tawa dari kamar. Tak ada pelukan hangat saat malam. Yang ada hanya sepi.
Vano menangis diam-diam. Lagi.
- Ayah, Di Mana?
Sementara itu, di sudut kota yang lain, di kamar kos sempit yang bau apek dan temaram, seorang pria duduk memeluk lutut.
Wajahnya pucat, matanya cekung. Di meja, botol kosong berjejer bersama puntung rokok.
Tangannya gemetar saat membuka dompet—menatap foto kecil seorang anak laki-laki, tersenyum polos.
“Vano…”
Ia menutup mata. Hatinya sesak. Ia ingin pulang. Tapi ia malu. Terlalu banyak luka yang ia tinggalkan.
Terlalu banyak pertengkaran, terlalu banyak kegagalan.
Dulu, ia adalah kepala keluarga. Seorang programmer yang dihormati. Tapi ketika proyek tak lagi datang, dan penghasilan tak lagi cukup untuk membiayai rumah dan mimpi, semuanya berubah.
Istrinya mulai meninggi suara. Anak-anaknya menjauh.
Dan ia terlalu rapuh untuk melawan. Ia lari ke tempat yang ia pikir bisa menyembuhkan: alkohol, judi, malam-malam dingin tanpa arah.
Tapi semua itu hanya membuatnya lebih hancur.
Namun di balik semua itu, satu hal yang tak pernah hilang:
rindunya pada Vano.
- Surat yang Tak Pernah Sampai
Suatu malam, ia menulis surat.
“Untuk Vano, anak ayah yang paling lucu…
Ayah tahu kamu kangen. Ayah juga kangen. Ayah kangen peluk kamu, kangen lihat kamu tidur sambil peluk boneka dino…
Ayah minta maaf… karena Ayah belum jadi ayah yang baik. Ayah pergi bukan karena nggak sayang. Tapi karena Ayah takut… takut kamu lihat Ayah hancur.
Tapi Ayah janji, suatu hari nanti Ayah pulang. Dalam keadaan yang lebih baik. Dalam versi Ayah yang bisa kamu banggakan.
Tunggu Ayah ya… Jangan benci Ayah…
Tinta di surat itu mengabur karena air mata. Ia lipat pelan, masukkan ke dalam saku, tapi tak pernah dikirim.
- Keajaiban Kecil
Malam itu, Vano mimpi.
Ia melihat ayahnya datang, duduk di tepi ranjangnya, mengelus rambutnya dan berkata, “Maaf ya, Nak. Ayah cuma pengen belajar jadi lebih kuat dulu.”
Vano bangun dengan mata berkaca-kaca. Ia tak tahu apakah itu nyata. Tapi sejak malam itu, ia berhenti menangis.
Ia mulai menggambar ayahnya setiap hari. Di TK, ia bercerita kepada guru bahwa ayahnya lagi pergi belajar jadi hebat.
Dan diam-diam, ibunya menangis di dapur, saat melihat gambar Vano: seorang pria dengan senyum lebar, digandeng oleh anak kecil.
- Pulang
Tiga bulan kemudian, pada hari ulang tahun Vano yang ke-6, pintu rumah diketuk.
Vano berlari membukanya.
Seorang pria berdiri di sana. Kumal, kurus, tapi dengan mata yang kini menatap penuh harap dan cinta.
Di tangannya, ia membawa mobil kayu baru yang dibuat dengan alat seadanya di kamar kos.
“Vano…”
Anak kecil itu menatapnya sebentar, lalu melompat memeluknya.
“Ayah… Ayah pulang…”
Dan tangis pun pecah. Bukan hanya dari Vano. Tapi dari pria yang merasa telah gagal, dan kini diberi kesempatan kedua oleh anak yang paling mencintainya, bahkan ketika dunia seolah membencinya.
Bengpri – Hanya Fiksi Sambil Ngopi
