“Vano…”
Ia menutup mata. Hatinya sesak. Ia ingin pulang. Tapi ia malu. Terlalu banyak luka yang ia tinggalkan.
Terlalu banyak pertengkaran, terlalu banyak kegagalan.
Dulu, ia adalah kepala keluarga. Seorang programmer yang dihormati. Tapi ketika proyek tak lagi datang, dan penghasilan tak lagi cukup untuk membiayai rumah dan mimpi, semuanya berubah.
Istrinya mulai meninggi suara. Anak-anaknya menjauh.
Dan ia terlalu rapuh untuk melawan. Ia lari ke tempat yang ia pikir bisa menyembuhkan: alkohol, judi, malam-malam dingin tanpa arah.
Tapi semua itu hanya membuatnya lebih hancur.
Namun di balik semua itu, satu hal yang tak pernah hilang:
rindunya pada Vano.
- Surat yang Tak Pernah Sampai
Suatu malam, ia menulis surat.
“Untuk Vano, anak ayah yang paling lucu…
Ayah tahu kamu kangen. Ayah juga kangen. Ayah kangen peluk kamu, kangen lihat kamu tidur sambil peluk boneka dino…
Ayah minta maaf… karena Ayah belum jadi ayah yang baik. Ayah pergi bukan karena nggak sayang. Tapi karena Ayah takut… takut kamu lihat Ayah hancur.
Tapi Ayah janji, suatu hari nanti Ayah pulang. Dalam keadaan yang lebih baik. Dalam versi Ayah yang bisa kamu banggakan.
Tunggu Ayah ya… Jangan benci Ayah…
Tinta di surat itu mengabur karena air mata. Ia lipat pelan, masukkan ke dalam saku, tapi tak pernah dikirim.
- Keajaiban Kecil
Malam itu, Vano mimpi.
Ia melihat ayahnya datang, duduk di tepi ranjangnya, mengelus rambutnya dan berkata, “Maaf ya, Nak. Ayah cuma pengen belajar jadi lebih kuat dulu.”
Vano bangun dengan mata berkaca-kaca. Ia tak tahu apakah itu nyata. Tapi sejak malam itu, ia berhenti menangis.
Ia mulai menggambar ayahnya setiap hari. Di TK, ia bercerita kepada guru bahwa ayahnya lagi pergi belajar jadi hebat.
Dan diam-diam, ibunya menangis di dapur, saat melihat gambar Vano: seorang pria dengan senyum lebar, digandeng oleh anak kecil.
- Pulang
Tiga bulan kemudian, pada hari ulang tahun Vano yang ke-6, pintu rumah diketuk.
Vano berlari membukanya.
Seorang pria berdiri di sana. Kumal, kurus, tapi dengan mata yang kini menatap penuh harap dan cinta.
Di tangannya, ia membawa mobil kayu baru yang dibuat dengan alat seadanya di kamar kos.
“Vano…”
Anak kecil itu menatapnya sebentar, lalu melompat memeluknya.
“Ayah… Ayah pulang…”
Dan tangis pun pecah. Bukan hanya dari Vano. Tapi dari pria yang merasa telah gagal, dan kini diberi kesempatan kedua oleh anak yang paling mencintainya, bahkan ketika dunia seolah membencinya.
Bengpri – Hanya Fiksi Sambil Ngopi