Cikalpedia
Politik

Badai Moral di DPRD Kuningan: Laporan Mengalir, Desakan Menguat

KUNINGAN – Tekanan demi tekanan mengalir deras ke Gedung DPRD Kabupaten Kuningan. Bukan sekadar kritik di ruang publik, kini laporan resmi mulai menumpuk di meja Badan Kehormatan (BK) DPRD. Isinya: dugaan pelanggaran etika oleh dua anggota legislatif berinisial TT dan S.

Sorotan terhadap keduanya bukan tanpa alasan. Mereka diduga melanggar norma agama, sosial, dan etika publik. tiga fondasi yang semestinya menjadi pijakan utama wakil rakyat.

Gelombang desakan ini berakar dari audiensi antara Forum Masyarakat Peduli Kuningan (FMPK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kuningan, Senin, 2 Juni 2025. Dalam pertemuan itu, tokoh-tokoh masyarakat dan agamawan menyampaikan unek-unek yang sudah lama bergulir di ruang publik: ada yang busuk di tubuh wakil rakyat.

“Sudah tepat kita datang ke DPRD. DPRD harus memikirkan rakyat, bukan jadi beban pikiran rakyat,” kata KH. Dodo Syarif Hidayatullah, Ketua MUI Kuningan, usai audiensi. Pernyataannya mengandung nada getir sekaligus ultimatum moral.

Krisis etika ini, jika dibiarkan, kata Dodo, tak sekadar merusak citra DPRD, tapi bisa merontokkan kepercayaan publik terhadap sistem representatif. Sebab, publik tak menuntut kesempurnaan moral dari wakilnya—tapi setidaknya, jangan sampai mencederai akal sehat dan nurani kolektif.

Desakan agar BK bertindak tegas datang dari berbagai penjuru. Kalangan mahasiswa, tokoh agama, hingga masyarakat sipil menyuarakan satu hal: independensi BK harus dijaga. “BK jangan jadi stempel semata,” ujar Ade Supriyadi, aktivis keagamaan. “Wakil rakyat digaji oleh uang rakyat. Maka, kita punya hak untuk mengawasi mereka.”

Ade dan kelompoknya meyakini, krisis seperti ini tidak bisa dibiarkan tenggelam dalam birokrasi prosedural. Mereka menuntut tindakan nyata.

Dari kalangan muda, suara kekecewaan juga menggema. AA Fauzi, aktivis mahasiswa dari STAIKU, menyayangkan perilaku wakil rakyat yang dianggap tidak layak diteladani. “Kita belajar kehidupan dari para wakil rakyat. Tapi kalau contoh yang diberikan justru melanggar norma, apa yang bisa kita pelajari?” ucapnya.

Baca Juga :  Mojang Jajaka Kuningan Berlaga di Moka Jabar 2025, Siap Promosikan Pesona Budaya dan Wisata

Bagi Fauzi, krisis ini bukan sekadar soal hari ini, tapi juga soal warisan nilai. Pembiaran terhadap pelanggaran etika, ujarnya, adalah pembiaran terhadap pembusukan moral secara sistemik.

Secara hukum, anggota DPRD memang terikat oleh kode etik selain aturan perundang-undangan. Tapi di atas hukum, ada etika yang tak tertulis namun melekat tanggung jawab moral terhadap publik.

Masalahnya, apakah BK cukup punya nyali untuk bertindak? Sebab sejarah di banyak daerah menunjukkan, lembaga etik internal kerap tumpul ke dalam dan tajam ke luar. Apakah Kuningan akan jadi pengecualian?

“BK punya tanggung jawab konstitusional, bukan hanya administrative. Kalau kompromi jadi pilihan, maka kita sedang menyaksikan demokrasi yang dikorbankan atas nama kenyamanan politik.” Ungkapnya.

Kini, semua mata tertuju pada BK DPRD Kuningan. Sejauh ini, mereka belum banyak bersuara. Tapi publik sudah bicara. Dan suara publik, jika diabaikan, bisa berubah jadi gelombang yang lebih besar dari sekadar laporan etik.

Sejarah akan mencatat, apakah DPRD mampu berdiri di atas integritas, atau justru tenggelam dalam lumpur kompromi moral. (red)

Related posts

Diterjang Longsor, Dua Jalan Desa di Kuningan Lumpuh!

Cikal

Bagi-Bagi Nasi Gratis, PDI Perjuangan Kuningan Rayakan HUT ke-52 dengan Aksi Sosial

Cikal

Anak Bukan Komoditas, Jeritan Sunyi dari Balik Perdagangan Bayi

Cikal

Leave a Comment